Komunitas Penulis - Selain Jenis-jenis Kritik Sastra, ada juga Macam-macam Metode kritik sastra.
Para pakar kritik sastra membagi kritik sastra menjadi lima metode
pendekatan, dan metode pendekatan itu didasari oleh subjektivitas
kritikus sastra (minat, latar belakang, dan kepakaran), adapun
pendekatan kritik sastra yang lima itu yaitu,
- metode kritik sastra formalis,
- metode kritik respon pembaca,
- metode kritik feminis,
- metode kritik sosiologis,
- mentode kritik psikoanalisis.
Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) adalah aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme abad ke-19 khususnya yang berhubungan erat dengan puisi moderen Rusia yang beraliran futurisme.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
Gerakan formalis, memang tidak dapat disangkal, secara tidak langsung telah menorehkan garis demarkasi terhadap bahasa prosa yang sebenarnya juga termasuk dalam studi sastra. Bagi para Formalis, prosa menjadi the other sehingga pengertian mengenai fiksi yang sesungguhnya terpusat dalam istilah defamiliarisasi atas bahasa sehari-hari. Hal demikian dapat dipahami karena sejak timbulnya pemberontakan kaum Bolsevik di Rusia, bahasa yang terdapat dalam prosa menjadi stimulus dan kendaraan propaganda yang paling efektif untuk membuat massa bergerak sesuai kebijakan yang telah ditentukan. Bagi para Formalis, bahasa demikian jelas menjauhkan orang dari imajinasi dan penafsiran yang terus terbuka.
Dari sejarah perkembangan bahasa tulis, keberadaan bahasa fiksi (yang tertulis) sudah teruji. Inilah yang menjadi salah satu pangkal pemikiran para poststrukturalis seperti Barthes atau Derrida untuk memahami bahasa tulis sebagai sebuah teks yang berjejak bukan hanya dari sisi kontinuitasnya dengan beberapa momen, tetapi juga bahkan dari sisi diskontinuitasnya. Hal ini berarti bahwa bahasa tulis pun tidak selalu merepresentasikan sebuah fakta yang juga terbentuk dalam bahasa sehari-hari berdasarkan konvensi atau kebiasaan.
Metode Pendekatan Kritik Sastra Respon Pembaca
Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.
Pembaca Gelisah
Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.
Pembaca Pasrah
Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan
Pembaca sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).
The Real Reader (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.
Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks.
Ideal Reader (Pembaca Ideal)
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.
Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa terminologi khusus.
Superreader (Pembaca Pakar)
Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.
Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi kesastraan. Intended Reader (Pembaca Harapan)
Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan peran pembaca.
Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur.
Metode Pendekatan Kritik Sastra Feminis
Abad 20, seperti pernah dinyatakan Noami Wolf, seorang feminis dari
Amerika, sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar
gender, era kebangkitan perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus
berkembang hingga sekarang. Di berbagai belahan dunia, perempuan mulai
bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang
terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah
mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb.
di berbagai bidang. Termasuk di bidang sastra.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.
Akan tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.
Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.
Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, kritik sastra feminis ideologis, marxis, psikoanalitik, dll. Gynocritics melakukan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan perbedaannya dengan tulisan laki-laki. kritik sastra feminis Ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji adalah citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).
Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan. Di berbagai wilayah, berkat usaha para kritikus feminis, para perempuan dan karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, setelah melalui pengkajian dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di Inggris adalah salah satu contohnya.
Angin segar itu misalnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa kritikus sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara laki-laki dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan sehingga saat ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon sastra.
Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk menganalisis karya laki-laki. Padahal menurut sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada karya laki-laki untuk melihat bagaimana laki-laki mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita rekaannya. Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada penelitian mendalam terhadap penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini baru sebatas dugaan. Kajian mendalam ke arah ini tampaknya akan bermanfaat untuk membantu penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak hanya digunakan sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.
Akan tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.
Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.
Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, kritik sastra feminis ideologis, marxis, psikoanalitik, dll. Gynocritics melakukan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan perbedaannya dengan tulisan laki-laki. kritik sastra feminis Ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji adalah citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).
Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan. Di berbagai wilayah, berkat usaha para kritikus feminis, para perempuan dan karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, setelah melalui pengkajian dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di Inggris adalah salah satu contohnya.
Angin segar itu misalnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa kritikus sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara laki-laki dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan sehingga saat ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon sastra.
Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk menganalisis karya laki-laki. Padahal menurut sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada karya laki-laki untuk melihat bagaimana laki-laki mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita rekaannya. Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada penelitian mendalam terhadap penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini baru sebatas dugaan. Kajian mendalam ke arah ini tampaknya akan bermanfaat untuk membantu penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak hanya digunakan sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.
Metode Pendekatan Kritik Sastra Sosiologis
Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa
sastra merupakan pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra
mendapat pengaruh dari masyarakat dan memberi pengaruh terhadap
masyarakat.
Konsep dan kriteria
Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang, pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:
Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.
Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.
Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya.
Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.
Kekuatan dan Kelemahan
Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat diperlukan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.
Konsep dan kriteria
Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang, pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:
Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat, sastra semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.
Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.
Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu jaman dalam karyanya.
Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat diluar karya sastra.
Kekuatan dan Kelemahan
Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat diperlukan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan proters sosial (3) Pendekatan ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.
Metode Pendekatan Pisikologis
Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa
karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia.
Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila
kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan
Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu
tehnologi yang canggih ini, manusia memiliki konflik kejiwaan yang yang
bermula dari sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam
kehidupannya.
Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk menetahui lebih dalam tentang seluk beluk manusia yang unik ini merupakan sesuatu yang merangsang. Banyak penulis yang berusaha mendalami masalah pisikologi seiring dengan itu banyak penelaah atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan bantuan pisikologi. Memang benar setiap permasalahan kehidupan manusia dapat dikembalikan kedalam teori-teori pisikologis.
Berangkat dari pemikiran semacam itu muncullah pendekatan Pisikologis dalam telaah atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka seperti Jung, Adler, freud, dan Brill memberikan infirasi yang cukup banyak tentang pemecahan masalah misrteri tingkah laku manusia melalui teori-teori pisikologi. Namun hanya Freud yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat dari tekanan dan tinbunan masalah dibawah alam sadar yang kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni pisikologi yang di bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang bayank diterapkan dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.
Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk menetahui lebih dalam tentang seluk beluk manusia yang unik ini merupakan sesuatu yang merangsang. Banyak penulis yang berusaha mendalami masalah pisikologi seiring dengan itu banyak penelaah atau peneliti sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan bantuan pisikologi. Memang benar setiap permasalahan kehidupan manusia dapat dikembalikan kedalam teori-teori pisikologis.
Berangkat dari pemikiran semacam itu muncullah pendekatan Pisikologis dalam telaah atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka seperti Jung, Adler, freud, dan Brill memberikan infirasi yang cukup banyak tentang pemecahan masalah misrteri tingkah laku manusia melalui teori-teori pisikologi. Namun hanya Freud yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat dari tekanan dan tinbunan masalah dibawah alam sadar yang kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni pisikologi yang di bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang bayank diterapkan dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.
Konsepsi dan Kriteria Pisikoanalisis
Kritik psikoanalisis dilakukan berdasarkan psikologi yang ada dalam diri
manusia. Dalam dirinya terdapat id, ego, dan super-ego yang menyebabkan
manusia selalu berada dalam keadaan berperang dalam dirinya apabila
terjadi ketidakseimbangan antara ketiganya. Akan tetapi ketiganya
bekerjasama seimbang dan melahirkan watak yang wajar. Dalam metode
pendekatan psikoanalisis kajian sastra yang diambil hanya bagian-bagian
yang sesuai dengan teori psikoanalasis.
Berikut ini beberapa konsepsi dasar kriteria yang digunakan dalam metode pendekatan psikoanalisis:
- Karya sastra merupakan produk dari jiwa dan pemikiran pengarang yang berada dalam setengah sadar atau subconcius setelah mendapat bentuk yang jelas secara sadar atau concious dalam bentuk penciptaan karya sastra.
- Kualitas karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat pertama, yaitu keadaan setengah sadar di bawah alam sadar kepada tingkat kedua, yaitu dibawah keadaan sadar.
- Menurut metode psikoanalisis, karya yang berkualitas adalah karya sastra yang mampu menyajikan simbol, wawasan, kepercayaan, tradisi, moral, budaya dan lain-lain.
Kebebasan sastrawan atau pembuat karya sastra sangat dihargai. Dia memiliki kebebasan yang istimewa, yaitu berupaya mengkongkritkan gejolak batin yang ada dalam dirinya.
Metode atau Langkah
Freud mengatakan dalam teori psikoanalisisnya bahwa dalam mengarang, sastrawan diserang oleh penyakit jiwa yang disebut ‘neurosis’ bahkan sampai ‘psikosis’ seperti sakit mental. Berikut ini digambarkan metode atau langkah kerja pendekatan atau metode psikologis.
- Metode psikologis menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi intrinsik maupun segi ekstrinsik. Namun metode ini lebih ditekankan pada segi intrinsik sesuai dengan penokohan atau perwatakan.
- Segi ekstrinsik perlu dibahas yang menyangkut dengan permasalah jiwanya. Dengan memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam karakter cerita atau karya sastra yang ditulisnya.
- Di samping menganalisis perwatakan dalam segi psikologis, mengurai tentang tema karya sastra itu sendiri juga perlu dilakukan.
- Analisis dapat diteruskan kepada analisis kesan pembaca, karena karya sastra sangat berpengaruh dalam respon pembaca yang menimbulkan kesan pada pembaca dan berdampak didaktis bagi dirinya.
- Kekuatan dan Kelemahan Metode Psikoanalisis.
- Melalui pendekatan psikologi, dapat menimbulkan kesan bahwa pendekatan ini menjurus pada pemanfaatan ilmu jiwa yang rumit, abstrak dan kompleks. Sungguh meskipun begitu, metode psikoanalisis ini memiliki kekuatan, yaitu:
- Sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan.
- Metode ini memberi timbal balik kepada penulis atau sastrawan tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya.
- Sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, atau absurd dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya sastra semacam itu.
Metode ini juga memiliki kelemahan dalam menerapkannya dalam kritik sastra. Kelemahan tersebut dapat digarisbesarkan sebagai berikut:
- Mengharuskan kritikus untuk mengetahui ilmu kejiwaan.
- Banyak hal yang abstrak yang sukar dipecahkan tentang perilaku dan motif tindakan.
- Sukar diketahui kaitan tindakan yang satu dengan yang lain, karena dalam cerita kadang tokoh itu ‘mati’.
- Tidak mudah mengetahui apakah pengalaman yang menimpa tokoh itu merupakan pengalaman pengarang langsung atau bukan.
- Metode ini lebih mudah jika seorang pengarang menulis jujur sesuai dengan penglaman hidup dan karakternya, karena jika pengarang tidak jujur dalam membuat karyanya, maka kajian tentang riwayat hidup pengarang pun tidak ada gunanya.
- Sampai saat ini teori yang dikemukakan Freud belum dapat dibuktikan secara saintifik dan masih banyak hal yang bersifat metafor dan merupakan misteri.
Atar Semi, M. Pror. Drs. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit ANGKASA Bandung.
Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustakan Utama.
Hardiyana, Andre. 1994. Kritk Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Purtaka Utama.
Yusuf, Suhendra. Drs. MA. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.
0 komentar:
Posting Komentar