Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana. Ketaksaan atau ambiguitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksud- maksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.
Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau mempunyai lebih dari satu makna. Ketaksaan berdasarkan tataran bahasa yang terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu:
(1) ketaksaan fonetis ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem;
(2) ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan
(3) ketaksaan leksikal ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata. Atau dengan kata lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau polisemi.
Jadi, selain Makna Denotative, makna Konotatif, Makna Leksikal serta Makna Gramatikal, ada pula Ketaksaan atau Ambiguitas.
1. Ketaksaan Fonetis
Ketaksaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya.
Misal:
[beruang] 'mempunyai uang' atau ‘nama binatang’; di dalam bahasa Inggris a near (nomina) 'sebuah ginjal' atau ‘sebuah telinga'; di dalam bahasa Sunda pigeulisna ‘giliran cantiknya' atau pigeu lisna ‘bisu Lisna'.
Ketaksaan fonetik ini terjadi pada waktu pembicara melafalkan ujarannya. Seorang kapten pesawat terbang dapat merasa ragu, apakah fifteen ataukah fifty, yang dapat membahayakan pesawat dan seluruh awaknya, serta penumpangnya. Oleh karena itu, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulangi apa yang diujarkannya.
2. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama, ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN-+pukul : pemukul bermakna ganda: 'orang yang memukul' atau 'alat untuk memukul'. Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap kata membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.
Misalnya, di dalam bahasa Indonesia, frase orang tua dapat bermakna ganda 'orang yang tua' atau 'ibu-bapak', demikian pula kalimat "Tono anak Tata sakit." dapat menimbulkan ketaksaan sehingga memiliki alternatif:
1. Tono, anak Tata, sakit (Tono yang sakit)
2. Tono, anak, Tata, sakit (tiga orang yang sakit)
3. Tono! anak Tata sakit (Anak Tata sakit) dst.
3. Ketaksaan Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya, kata bang mungkin mengacu kepada 'abang' atau 'bank', bentuk seperti itu dikatakan polyvalency yang dapat dilihat dari dua segi, polisemi dan homonimi. Segi pertama polisemi, misalnya, kata haram di dalam bahasa Indonesia bisa bermakna:
1. Terlarang, tidak halal
Haram hukumnya apabila makan daging bangkai.
2. Suci, tidak boleh dibuat sembarangan
Tanah haram atau masjidilharam di Mekah adalah tempat paling mulia di atas bumi.
3. Sama sekali tidak, sungguh-sungguh
Tidak selangkah haram aku surut.
4. Terlarang oleh undang-undang, tidak sah
PKI dan DI dinyatakan haram oleh pemerintah.
5. Haramjadah
Anak haram jadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah.
Segi kedua adalah homonim, yaitu kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia kata bisa berarti 'dapat’ atau 'racun', atau kata pukul yang berarti 'jam' atau 'ketuk'.
Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks.
1. Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik).
Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat Ali anak Amat sakit belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
2. Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
3. Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahas tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu.
4. Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya. Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Kekaburan makna dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus yang digunakan pada situasi tertentu.
Demikian mengenai Ketaksaan atau Ambiguitas. Semoga bermanfaat.
Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau mempunyai lebih dari satu makna. Ketaksaan berdasarkan tataran bahasa yang terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu:
(1) ketaksaan fonetis ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem;
(2) ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan
(3) ketaksaan leksikal ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata. Atau dengan kata lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau polisemi.
Jadi, selain Makna Denotative, makna Konotatif, Makna Leksikal serta Makna Gramatikal, ada pula Ketaksaan atau Ambiguitas.
Jenis-jenis Ketaksaan:
1. Ketaksaan Fonetis
Ketaksaan pada tataran fonologi (fonetik) muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat bila dilafalkan terlalu cepat, dapat mengakibatkan keragu-raguan akan maknanya.
Misal:
[beruang] 'mempunyai uang' atau ‘nama binatang’; di dalam bahasa Inggris a near (nomina) 'sebuah ginjal' atau ‘sebuah telinga'; di dalam bahasa Sunda pigeulisna ‘giliran cantiknya' atau pigeu lisna ‘bisu Lisna'.
Ketaksaan fonetik ini terjadi pada waktu pembicara melafalkan ujarannya. Seorang kapten pesawat terbang dapat merasa ragu, apakah fifteen ataukah fifty, yang dapat membahayakan pesawat dan seluruh awaknya, serta penumpangnya. Oleh karena itu, untuk menghindari ketaksaan, si pendengar memohon kepada pembicara untuk mengulangi apa yang diujarkannya.
2. Ketaksaan Gramatikal
Ketaksaan gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Dengan demikian, ketaksaan gramatikal ini dapat dilihat dengan dua alternatif. Pertama, ketaksaan yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Misalnya, pada tataran morfologi (proses morfemis) yang mengakibatkan perubahan makna, prefiks peN-+pukul : pemukul bermakna ganda: 'orang yang memukul' atau 'alat untuk memukul'. Alternatif kedua adalah ketaksaan pada frasa yang mirip. Setiap kata membentuk frasa yang sebenarnya sudah jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian.
Misalnya, di dalam bahasa Indonesia, frase orang tua dapat bermakna ganda 'orang yang tua' atau 'ibu-bapak', demikian pula kalimat "Tono anak Tata sakit." dapat menimbulkan ketaksaan sehingga memiliki alternatif:
1. Tono, anak Tata, sakit (Tono yang sakit)
2. Tono, anak, Tata, sakit (tiga orang yang sakit)
3. Tono! anak Tata sakit (Anak Tata sakit) dst.
3. Ketaksaan Leksikal
Setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Misalnya, kata bang mungkin mengacu kepada 'abang' atau 'bank', bentuk seperti itu dikatakan polyvalency yang dapat dilihat dari dua segi, polisemi dan homonimi. Segi pertama polisemi, misalnya, kata haram di dalam bahasa Indonesia bisa bermakna:
1. Terlarang, tidak halal
Haram hukumnya apabila makan daging bangkai.
2. Suci, tidak boleh dibuat sembarangan
Tanah haram atau masjidilharam di Mekah adalah tempat paling mulia di atas bumi.
3. Sama sekali tidak, sungguh-sungguh
Tidak selangkah haram aku surut.
4. Terlarang oleh undang-undang, tidak sah
PKI dan DI dinyatakan haram oleh pemerintah.
5. Haramjadah
Anak haram jadah atau anak jadah adalah anak yang lahir di luar nikah atau anak yang tidak sah.
Segi kedua adalah homonim, yaitu kata-kata yang sama bunyinya. Misalnya, di dalam bahasa Indonesia kata bisa berarti 'dapat’ atau 'racun', atau kata pukul yang berarti 'jam' atau 'ketuk'.
Segi kedua ini tidak akan menimbulkan ketaksaan bila dilihat pemakaiannya di dalam konteks.
1. Sifat kata atau kalimat yang bersifat umum (generik).
Misalnya, kata buku yang memiliki makna ganda; kalimat Ali anak Amat sakit belumlah jelas kepada kita siapa yang sakit, tanpa dibarengi unsur suprasegmental yang jelas.
2. Kata atau kalimat tidak pernah sama seratus persen. Kata akan jelas maknanya di dalam konteks, meskipun kadang-kadang konteks itu kabur bagi kita.
3. Batas makna yang dihubungkan dengan bahasa dan yang di luar bahas tidak jelas. Misalnya, sampai di mana batas kata pandai itu.
4. Kurang akrabnya kata yang kita pakai dengan acuannya. Apa yang dimaksud dengan kata demokrasi, politik, dan apa pula maknanya demokrasi terpimpin itu?
Kekaburan makna dapat dihindari dengan memperhatikan penggunaan kata di dalam konteks atau ditentukan pula oleh situasi, sebab ada kata-kata khusus yang digunakan pada situasi tertentu.
Baca Juga Jenis-jenis Majas
Demikian mengenai Ketaksaan atau Ambiguitas. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar