Komunitas Penulis - Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca.
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Berikut mengenai Teori Psikoanalisis.
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi (The Interpretation of Dreams) dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku).
Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan (madness) dari tingkat neurotik sampai psikoslogis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra (Psikoanalisis Sastra).
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra adalah produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) setelah jelas baru dituangkan dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika pengarang menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya tersebut menjadi lebih hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog atau pun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.
Psikologi dalam sastra lebih menitikberatkan karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan dalam psikologi sastra, karya dianggap sebagai refleksi kejiwaan.
Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwasan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama atau prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan terampil melalui larik-larik pilihan kata yang khas. Karya sastra dan psikologis memiliki keterkaitan secara erat baik secara tidak langsung maupun fungsional. Pertautan tidak langsung, karena kedua-duanya memiliki objek kajian yang sama yaitu kehidupan manusia. Adapun hubungan fungsional lebih ditekankan pada kesamaan untuk mempelajari gejala kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi bersifat riil, sedangkan dalam sastra lebih bersifat imajinatif.
Teori yang masih digunakan dalam kajian psikologi adalah psikoanalisis yang ditemukan oleh Sigmund Freud. Teori ini menjelaskan bahwa manusia sering berada dalam kondisi tidak sadar. Adapun kondisi sadar sangat sedikit ditemukan dalam kondisi mental manusia. Teori ini menarik untuk dikaji, bukan hanya karena memiliki hubungan yang erat dengan sastra, akan tetapi juga dikarenakan eksistensi teori ini sampai sekarang.
Telah diungkapkan di atas bahwa manusia sering dalam kondisi tak sadar (alam bawah sadar) daripada kondisi sadar. Ketidak sadaran ini akan menyublim ke dalam proses kreatifitas pengarang. Dalam proses penciptaan tokoh misalnya, pengarang sering menggunakan daya imajinasinya seolah-olah sedang berhadapan dengan realitas. Semakin jauh lagi, sering pengarang merasakan larut pada cerita-cerita fiktif yang ia buat sendiri.
Dalam kajian psikologi sastra, kepribadian manusia yang dianalisis melalui teori psikoalalisis dibagi menjadi tiga yaitu, id, ego, dan super ego. Ketiga sistem ini saling berkaitan erat sehingga merupakan suatu totalitas. Perilaku manusia sering diinterpretasikan sebagai refleksi dari produk ketiga unsur di atas.
Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan acuan penting yang digunakan untuk memahami sastrawan/ seniman dalam proses penciptaan karya sastra. Melalui id pula, sastrawan bisa menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi, unsur psikologis dalam karya sastra lebih memperhatikan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Sering pula id disebut sebagaiu kepribadian yang gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tidak mengenal nilai dan lebih bersifat liar.
Dalam perkembangannya, manusia juga memiliki ego (das ich) yang lebih memandang realita dalam kehidupan. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Selain itu, ego juga bersifat implementatif, karena sering bersinggungan dengan dunia luar.
Super ego (das ueber ich) berkembang dan berfungsi sebagai pengontrol dorongan-dorongan yang dikembangkan id. Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (mempertimbangkan aspek baik, buruk).
Hubungan antara sastra dan psikologis dibagi menjadi dua. Pertama, adanya kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan pembaca. Hal ini dikarenakan karya sastra mampu menyentuh dan memberikan solusi terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, adanya kesejajaran antara mimpi dan sastra dalam hal elaborasi sastra dengan elaborasi mimpi. Freud menyebut ini sebagai "pekerjaan mimpi" dikarenakan anggapan bahwa mimpi tidak ubahnya sebuah tulisan (bersifat arbitrer), keadaan orang yang bermimpi mirip dengan sastrawan yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.
Proses kreativitas penulis dalam mencipta suatu karya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin disampaikan. Selain itu, pengarang juga bisa mengatakan dalam bentuk langsung atau ubahan. Jadi karya sastra adalah ungkapan jiwa pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam diri pengarang.
Demikian mengenai Psikoanalisis Sastra, semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka:
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Berikut mengenai Teori Psikoanalisis.
Psikoanalisis dalam sastra
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi (The Interpretation of Dreams) dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku).
Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan (madness) dari tingkat neurotik sampai psikoslogis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra (Psikoanalisis Sastra).
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh berbagai hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra adalah produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) setelah jelas baru dituangkan dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tidak sadar selalu mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika pengarang menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya tersebut menjadi lebih hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog atau pun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.
Psikologi dalam sastra lebih menitikberatkan karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan dalam psikologi sastra, karya dianggap sebagai refleksi kejiwaan.
Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwasan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama atau prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan terampil melalui larik-larik pilihan kata yang khas. Karya sastra dan psikologis memiliki keterkaitan secara erat baik secara tidak langsung maupun fungsional. Pertautan tidak langsung, karena kedua-duanya memiliki objek kajian yang sama yaitu kehidupan manusia. Adapun hubungan fungsional lebih ditekankan pada kesamaan untuk mempelajari gejala kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi bersifat riil, sedangkan dalam sastra lebih bersifat imajinatif.
Teori yang masih digunakan dalam kajian psikologi adalah psikoanalisis yang ditemukan oleh Sigmund Freud. Teori ini menjelaskan bahwa manusia sering berada dalam kondisi tidak sadar. Adapun kondisi sadar sangat sedikit ditemukan dalam kondisi mental manusia. Teori ini menarik untuk dikaji, bukan hanya karena memiliki hubungan yang erat dengan sastra, akan tetapi juga dikarenakan eksistensi teori ini sampai sekarang.
Hubungan sastra dengan Psikoanalisis
Telah diungkapkan di atas bahwa manusia sering dalam kondisi tak sadar (alam bawah sadar) daripada kondisi sadar. Ketidak sadaran ini akan menyublim ke dalam proses kreatifitas pengarang. Dalam proses penciptaan tokoh misalnya, pengarang sering menggunakan daya imajinasinya seolah-olah sedang berhadapan dengan realitas. Semakin jauh lagi, sering pengarang merasakan larut pada cerita-cerita fiktif yang ia buat sendiri.
Dalam kajian psikologi sastra, kepribadian manusia yang dianalisis melalui teori psikoalalisis dibagi menjadi tiga yaitu, id, ego, dan super ego. Ketiga sistem ini saling berkaitan erat sehingga merupakan suatu totalitas. Perilaku manusia sering diinterpretasikan sebagai refleksi dari produk ketiga unsur di atas.
Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan acuan penting yang digunakan untuk memahami sastrawan/ seniman dalam proses penciptaan karya sastra. Melalui id pula, sastrawan bisa menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi, unsur psikologis dalam karya sastra lebih memperhatikan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Sering pula id disebut sebagaiu kepribadian yang gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu yang tidak mengenal nilai dan lebih bersifat liar.
Dalam perkembangannya, manusia juga memiliki ego (das ich) yang lebih memandang realita dalam kehidupan. Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Selain itu, ego juga bersifat implementatif, karena sering bersinggungan dengan dunia luar.
Super ego (das ueber ich) berkembang dan berfungsi sebagai pengontrol dorongan-dorongan yang dikembangkan id. Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (mempertimbangkan aspek baik, buruk).
Hubungan antara sastra dan psikologis dibagi menjadi dua. Pertama, adanya kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan pembaca. Hal ini dikarenakan karya sastra mampu menyentuh dan memberikan solusi terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, adanya kesejajaran antara mimpi dan sastra dalam hal elaborasi sastra dengan elaborasi mimpi. Freud menyebut ini sebagai "pekerjaan mimpi" dikarenakan anggapan bahwa mimpi tidak ubahnya sebuah tulisan (bersifat arbitrer), keadaan orang yang bermimpi mirip dengan sastrawan yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.
Proses kreativitas penulis dalam mencipta suatu karya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin disampaikan. Selain itu, pengarang juga bisa mengatakan dalam bentuk langsung atau ubahan. Jadi karya sastra adalah ungkapan jiwa pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam diri pengarang.
TOKOH-TOKOH PSIKOANALISIS SASTRA
Berikut ini adalah nama Tokoh-tokoh yang menjadi penggagas Psikoanalisis Sastra:- Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar pendidikan Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
- T.S Elliot
- Carl.G.Jung.
- Ribot, psikolog Perancis
- L.Russu
- Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
- Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik penyair harus dalam keadaan jiwa tertentu pula.
Baca juga KARYA SASTRA KONTEMPORER
Demikian mengenai Psikoanalisis Sastra, semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka:
- Elizabeth B. Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan (terjemahan). Penerbit Erlangga: Jakarta.
- Jalaludidin Rakhmat. 2007. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya: Bandung.
- Mahsun, M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa; Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
- Nyoman Kutha Ratna. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
- Rachmat Djoko Pradopo dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. PT Hanindita Graha Widya: Yogyakarta.
- Rokhman, Arif. Dkk. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: CV Qalam.
- Suhendra Yusuf. 1995. Leksikon Sastra. Mandar Maju: Bandung.
- Sutiasumarga, M. 2001. Kesusastraan Arab Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta: Zikrul Hakim.
0 komentar:
Posting Komentar