Komunitas Penulis - Jika sebelumnya kita telah memberikan cara Menulis Novel yang baik, lalu tips memikat pembaca, kali ini kita akan memanfaatkan kultur atau budaya untuk membuat konflik dalam sebuah cerita yang akan kita buat. Dalam dunia menulis, kita mengenal beberapa jenis karakter yang bisa dipasangkan pada setiap tokoh dalam cerita yang kita buat. Tapi yang kita tahu, seorang tokoh Protagonis selalu berpasangan dengan Sidekick atau tokoh yang siap membantunya untuk memecahkan masalah. Tokoh Protagonis mempunyai lawan yaitu Tokoh antagonis yang berpasangan dengan tokoh Contagonist (kadang dibantu tokoh Skeptic).
Di sini kita baru membicarakan 5 tokoh, karena banyak jenisnya.Cara pembuatan tokoh diatas akan membantu kita menciptakan berbagai macam konflik dan cerita yang dimainkan "para karakter-tokoh buatan kita".
Tapi kemarin saya berfikir:
"Bagaimana kalau sebuah cerita menghasilkan 2 pandangan yang berbeda?"
"Bagaimana membuat sebuah cerita yang tidak menghasilkan pasangan Antagonis dan protagonis ? Tidak ada penjahat, semua orang baik atau semuanya penjahat dan nggak ada orang baik? Bagaimana mendefinisikannya? Dan bagaimana membuat ceritanya menjadi menarik?"
Dan ternyata saya menemukan jawaban yang sederhana :
Misalnya begini, pernah nonton film Brave Heart? Film ini menceritakan tokoh Ksatria: yang diperankan MEL GIBSON yang menentang penindasan REZIM Kerajaan Inggris, dari sudut pandang penonton Irlandia, Film ini mewakili perjuangan mereka melawan penindasan Inggris. Lah, kalau dari pandang sudut penonton Inggris, tokoh ini mewakili kaum pembrontak yang harus dibasmi. Disadari atau tidak, sang
penulis skenario menghasilkan "Konflik Kultur" yang menghasilkan beberapa sudut pandang yang berbeda. Film yang cukup menghasilkan pandangan berbeda juga ada, misalnya "Aku Ingin Menciummu Sekali saja - Garin Nugroho"
Silahkan Anda berikan pandangan tentang ini, maka akan ada beberapa pandangan yang berbeda terhadap pesan, karakter dan cerita film ini (sebagian akan terbangun emosinya karena dalam film ini dikisahkan tentang visualisasi upacara pemakaman Theys, sebagian lagi akan sadar bila bangsa atau rasnya adalah bangsa tertindas)
Atau lebih gampang, pernahkah anda menonton film bareng temen atau rekan dari lain etnis dan pada ending Film tersebut, rekan anda berkomentar:
"Jagoannya bloon banget, gue lebih suka penjahatnya karena satu ras sama gue : CHINA!" - Nah lu?"
Hal ini akan menjadikan sebuah
Pertanyaannya, kok bisa ya? Mengapa kita tidak dapat melihat sebuah cerita secara hitam putih? Mengapa kita tidak bisa mengatakan: Tokoh penjahat itu salah dan tokoh protagonis itu benar? Kenapa kita nggak bisa mengatakan secara pasti "kebenaran" sebuah cerita? kenapa terdapat pandangan relatif terhadap Karakter pemain dalam sebuah film? Mengapa kita tidak dapat melakukan Stigma Absolut pada jenis-jenis karakter pada beberapa film secara ilmu Dramatica? Jawabannya karena sang Sutradara/penulis bermain pada area KONFLIK KULTUR.
Apa yang dimaksud Konflik Kultur? konflik kultur adalah suatu konflik cerita yang timbul akibat perbedaan cara pandang terhadap agama, bahasa, budaya, ras, IPOLEKSOSBUD HANKAM dsb yang menggunakan nilai-nilai Moral. Konflik ini justru terjadi : SETELAH PEMBACA selesai membaca karya tersebut. Dan nilai yang dikenakan pada sebuah cerita berbeda-beda berdasarkan analisanya
masing-masing.
Konflik kultur yang lain, pernah mengamati film-film Horor barat seperti NIGHTMARE ON ELM STREET, PHANTASMA, EVIL DEVIL, ZOMBIE 1,2,3, EVIL DEAD dsb,
Pertanyaan saya adalah: Kenapa karakter hantu, setan, drakula di sana selalu berpakaian jas, menggunakan Tuxedo, Mukanya berantakan, BLOODY GORRY , Bath Blooded dsb? dan pertanyaan saya yang paling nggak nyambung: Kenapa setan didalam film selalu menggunakan bahasa INGGRIS
Bandingkan dengan film-film horor kita : Tusuk Jelangkung, Sundel Bolong, Tiren, Kuntilanak, dsb, setannya sama sekali nggak trendi, pakaiannya kain kafan, sarung, mukanya kebanyakan "ndeso", dan menggunakan bahasa INDONESIA yang digunakan Sesama setan atau setan kepada manusia?
RUMUS MEMBUAT KONFLIK KULTUR
Maka ada ide pemikiran baru disini : Bagaimana menciptakan sebuah konflik Kultur dalam sebuah cerita dan dapat diterima oleh banyak pihak?
Susahnya, Konflik Kultur ini nggak bisa diterima begitu saja. Bahkan sebuah film G-30S PKI yang bertahun-tahun ditanamkan dalam benak kita kalau "PKI itu salah", malah pada era Reformasi ini mempunyai pesan yang berubah : "FILMNYA SALAH!". coba nonton lagi deh Film tersebut, jangan-jangan judul sebenarnya adalah "G-30S TENTARA" (saya terpaksa harus menggunakan kalimat TENTARA, biar terjadi KONFLIK KULTUR baru ...hehehehe), abis pemainnya kebanyakan berseragam militer, tentara, lah sebenarnya yang "PKI jahat tuh" yang mana to? Anda masih ingat waktu menonton film ini waktu anda masih SD? kultur konflik yang disuguhkan Film ini begitu mengena (dan salah?) ke batin penonton-penonton cilik yang "diwajibkan" nonton G-30S karena menilai dari sudut "pakaian sang pemain":
"Mak, PKInya kok pakai baju tentara?"
[Nah, ternyata kita sudah pernah belajar konflik kultur dari visualisasi seragam-isme]
Satu contoh cerita yang menggunakan Konflik Kultur :
Pernah nonton Silence of the lambs dan Hannibal ?(Jodie Foster).
Sang penulis skenario dengan lihainya menggunakan kekuatan Script agar kita berpihak pada tokoh Sentral, HANNIBAL. Mari kita amati tokoh ini, Hanibal adalah seorang Narapidana yang mempunyai kegemaran Makan daging Manusia, menguliti mangsanya, Sadis gila-gilaan dsb (pokoknya penjahat kelas ANTAGONIS BANGET). Sang penulis skenario mencoba mengubah sudut pandang Penonton dan berusaha mengajak KITA sang penikmat film untuk BERPIHAK pada tokoh tersebut.
Jika anda menggunakan rumus dramatika, HITAM PUTIH, baik BURUK, ANTAGONIS - PROTAGONIS, Goal anda cuma 1 : tangkap dan HABISI sang HANIBAL, tapi coba perhatikan sequel dari Silence...HANIBAL, maka penonton seolah terbujuk untuk berpihak pada sang Hanibal (yang luar biasa sadis nggak ketulungan) dan mencoba melakukan pembelaan terhadap keberadaannya di menit-menit terakhir. (Pada 2 Scene akhir dari babak ke 9, dikisahkan Hanibal berhasil menyelamatkan
Jodie Foster dan membawanya keluar dari sarang Penyekapan).
Jelas script ini menggunakan konflik Kultur. Mengaduk perasaan penonton agar berpihak pada sesuatu yang (dulu) kita anggap ANTAGONIST. Berhasilkah? ah saya kemarin dapat komentar yang bikin bulu kuduk saya merinding : "ternyata sejahat-jahatnya kanibal(hanibal), nggak mau memakan orang yang dikasihinya!"
.....dan hingga saat ini saya masih mempelajari apakah kultur kanibalistik (lisme ?) juga mempunyai rasa sayang terhadap sesamanya?
Nah, bagaimana? Jika sudah menemukan inspirasi, langsung saja action untuk membuat outline novel. Semoga tips membuat konflik dalam cerita yang disuguhkan kali ini bsia memberikan inspirasi bagi anda. Salam Nektarity.
Di sini kita baru membicarakan 5 tokoh, karena banyak jenisnya.Cara pembuatan tokoh diatas akan membantu kita menciptakan berbagai macam konflik dan cerita yang dimainkan "para karakter-tokoh buatan kita".
Tapi kemarin saya berfikir:
"Bagaimana kalau sebuah cerita menghasilkan 2 pandangan yang berbeda?"
"Bagaimana membuat sebuah cerita yang tidak menghasilkan pasangan Antagonis dan protagonis ? Tidak ada penjahat, semua orang baik atau semuanya penjahat dan nggak ada orang baik? Bagaimana mendefinisikannya? Dan bagaimana membuat ceritanya menjadi menarik?"
Dan ternyata saya menemukan jawaban yang sederhana :
"Gunakan pendekatan konflik kultur."
Misalnya begini, pernah nonton film Brave Heart? Film ini menceritakan tokoh Ksatria: yang diperankan MEL GIBSON yang menentang penindasan REZIM Kerajaan Inggris, dari sudut pandang penonton Irlandia, Film ini mewakili perjuangan mereka melawan penindasan Inggris. Lah, kalau dari pandang sudut penonton Inggris, tokoh ini mewakili kaum pembrontak yang harus dibasmi. Disadari atau tidak, sang
penulis skenario menghasilkan "Konflik Kultur" yang menghasilkan beberapa sudut pandang yang berbeda. Film yang cukup menghasilkan pandangan berbeda juga ada, misalnya "Aku Ingin Menciummu Sekali saja - Garin Nugroho"
Silahkan Anda berikan pandangan tentang ini, maka akan ada beberapa pandangan yang berbeda terhadap pesan, karakter dan cerita film ini (sebagian akan terbangun emosinya karena dalam film ini dikisahkan tentang visualisasi upacara pemakaman Theys, sebagian lagi akan sadar bila bangsa atau rasnya adalah bangsa tertindas)
Atau lebih gampang, pernahkah anda menonton film bareng temen atau rekan dari lain etnis dan pada ending Film tersebut, rekan anda berkomentar:
"Jagoannya bloon banget, gue lebih suka penjahatnya karena satu ras sama gue : CHINA!" - Nah lu?"
Tips Membuat Konflik Dalam Menulis Cerpen dan Novel
Hal ini akan menjadikan sebuah
Cara Membuat Konflik Cerita yang Unik
Pertanyaannya, kok bisa ya? Mengapa kita tidak dapat melihat sebuah cerita secara hitam putih? Mengapa kita tidak bisa mengatakan: Tokoh penjahat itu salah dan tokoh protagonis itu benar? Kenapa kita nggak bisa mengatakan secara pasti "kebenaran" sebuah cerita? kenapa terdapat pandangan relatif terhadap Karakter pemain dalam sebuah film? Mengapa kita tidak dapat melakukan Stigma Absolut pada jenis-jenis karakter pada beberapa film secara ilmu Dramatica? Jawabannya karena sang Sutradara/penulis bermain pada area KONFLIK KULTUR.
Apa yang dimaksud Konflik Kultur? konflik kultur adalah suatu konflik cerita yang timbul akibat perbedaan cara pandang terhadap agama, bahasa, budaya, ras, IPOLEKSOSBUD HANKAM dsb yang menggunakan nilai-nilai Moral. Konflik ini justru terjadi : SETELAH PEMBACA selesai membaca karya tersebut. Dan nilai yang dikenakan pada sebuah cerita berbeda-beda berdasarkan analisanya
masing-masing.
Konflik kultur yang lain, pernah mengamati film-film Horor barat seperti NIGHTMARE ON ELM STREET, PHANTASMA, EVIL DEVIL, ZOMBIE 1,2,3, EVIL DEAD dsb,
Pertanyaan saya adalah: Kenapa karakter hantu, setan, drakula di sana selalu berpakaian jas, menggunakan Tuxedo, Mukanya berantakan, BLOODY GORRY , Bath Blooded dsb? dan pertanyaan saya yang paling nggak nyambung: Kenapa setan didalam film selalu menggunakan bahasa INGGRIS
Bandingkan dengan film-film horor kita : Tusuk Jelangkung, Sundel Bolong, Tiren, Kuntilanak, dsb, setannya sama sekali nggak trendi, pakaiannya kain kafan, sarung, mukanya kebanyakan "ndeso", dan menggunakan bahasa INDONESIA yang digunakan Sesama setan atau setan kepada manusia?
RUMUS MEMBUAT KONFLIK KULTUR
- Setiap karakter mewakili kultur atau budaya masing-masing. Kita nggak bisa hanya membuat karakter Skeptis, Antagonis, Protagonis, Sidekick dsb, untuk menampilkan konflik. Justru dengan memutar sudut pandang kita terhadap penokohan dan mencoba memberikan argumentasi pada sebuah karakter akan mengakibatkan Perasaan yang kita dapat berubah.
Maka ada ide pemikiran baru disini : Bagaimana menciptakan sebuah konflik Kultur dalam sebuah cerita dan dapat diterima oleh banyak pihak?
Susahnya, Konflik Kultur ini nggak bisa diterima begitu saja. Bahkan sebuah film G-30S PKI yang bertahun-tahun ditanamkan dalam benak kita kalau "PKI itu salah", malah pada era Reformasi ini mempunyai pesan yang berubah : "FILMNYA SALAH!". coba nonton lagi deh Film tersebut, jangan-jangan judul sebenarnya adalah "G-30S TENTARA" (saya terpaksa harus menggunakan kalimat TENTARA, biar terjadi KONFLIK KULTUR baru ...hehehehe), abis pemainnya kebanyakan berseragam militer, tentara, lah sebenarnya yang "PKI jahat tuh" yang mana to? Anda masih ingat waktu menonton film ini waktu anda masih SD? kultur konflik yang disuguhkan Film ini begitu mengena (dan salah?) ke batin penonton-penonton cilik yang "diwajibkan" nonton G-30S karena menilai dari sudut "pakaian sang pemain":
"Mak, PKInya kok pakai baju tentara?"
[Nah, ternyata kita sudah pernah belajar konflik kultur dari visualisasi seragam-isme]
Satu contoh cerita yang menggunakan Konflik Kultur :
Pernah nonton Silence of the lambs dan Hannibal ?(Jodie Foster).
Sang penulis skenario dengan lihainya menggunakan kekuatan Script agar kita berpihak pada tokoh Sentral, HANNIBAL. Mari kita amati tokoh ini, Hanibal adalah seorang Narapidana yang mempunyai kegemaran Makan daging Manusia, menguliti mangsanya, Sadis gila-gilaan dsb (pokoknya penjahat kelas ANTAGONIS BANGET). Sang penulis skenario mencoba mengubah sudut pandang Penonton dan berusaha mengajak KITA sang penikmat film untuk BERPIHAK pada tokoh tersebut.
Jika anda menggunakan rumus dramatika, HITAM PUTIH, baik BURUK, ANTAGONIS - PROTAGONIS, Goal anda cuma 1 : tangkap dan HABISI sang HANIBAL, tapi coba perhatikan sequel dari Silence...HANIBAL, maka penonton seolah terbujuk untuk berpihak pada sang Hanibal (yang luar biasa sadis nggak ketulungan) dan mencoba melakukan pembelaan terhadap keberadaannya di menit-menit terakhir. (Pada 2 Scene akhir dari babak ke 9, dikisahkan Hanibal berhasil menyelamatkan
Jodie Foster dan membawanya keluar dari sarang Penyekapan).
Jelas script ini menggunakan konflik Kultur. Mengaduk perasaan penonton agar berpihak pada sesuatu yang (dulu) kita anggap ANTAGONIST. Berhasilkah? ah saya kemarin dapat komentar yang bikin bulu kuduk saya merinding : "ternyata sejahat-jahatnya kanibal(hanibal), nggak mau memakan orang yang dikasihinya!"
.....dan hingga saat ini saya masih mempelajari apakah kultur kanibalistik (lisme ?) juga mempunyai rasa sayang terhadap sesamanya?
Nah, bagaimana? Jika sudah menemukan inspirasi, langsung saja action untuk membuat outline novel. Semoga tips membuat konflik dalam cerita yang disuguhkan kali ini bsia memberikan inspirasi bagi anda. Salam Nektarity.
0 komentar:
Posting Komentar