Sastra, atau tepatnya susastra, memerlukan kekayaan kandungan nilai-nilai. Pada umumnya nilai-nilai filsafat dan religius merupakan ramuan yang sangat penting untuk setiap karya sastra. Tanpa kandungan nilai-nilai filosofis dan religius, sastra bukanlah sastra, tidak lebih dari seonggok teks yang gagu dan hampa. Aneh rasanya, jika masih banyak penulis bersemangat, tetapi menjauhi nilai-nilai religi dan filosofi. (meskipun demikian kita tidak bisa mengatakan bahwa tiap karya yang syarat nilai-nilai agama atau filsafat pastilah sebuah karya sastra yang berhasil. Dengan kata lain, tidak dengan sendirinya seorang ahli agama atau ahli filsafat adalah sastrawan). Mungkin sudah kodrat sastra, harus mengacu kepada filsafat. Jika tidak yang terjadi hanyalah teks yang tergolong karya pop(hiburan) saja. Sayangnya terlalu banyak penulis kita yang tidak atau belum tertarik kepada filsafat. Maka janganlah heran jika yang kini membanjir adalah karya-karya pop.
Kejadian seperti itu tampaknya akan berjalan terus, dalam kurun waktu yang akan cukup panjang. Itu dimungkinkan, karena tidak adanya seleksi terhadap karya-karya yang akan diterbitkan(maraknya Self Publishing service). Pertama, karena setiap penulis bisa saja menerbitkan karyanya sendiri, tanpa lewat saringan tertentu. Kedua, kita memang sedang tidak punya kritikus sastra yang berwibawa dan professional. Krisis kritikus sastra? Katakanlah demikian. Tentu sangat menyedihkan (juga memalukan), sikap penulis tertentu yang sangat naïf terhadap kritik. Ada penulis yang memandang peran kritikus sama dengan benalu.
Bagaimana dengan sastra koran dan sastra majalah? Pemuatan di media tentu melalui tangan-tangan redaktur. Tetapi tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang unggul, setidaknya memadai. Dengan demikian banyaknya karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra kita selama ini. Jangan pula lupa, bahwa koran atau
majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri (mainstream).
Tetapi bagaimanapun kualitas karya sastra ditentukan terutama oleh mutu sastrawannya itu sendiri. Sayangnya, terlalu banyak penulis kita, yang terlalu minim pengetahuannya tentang sastra itu sendiri. Masih banyak penulis yang tidak paham,misalnya,apa beda cerita dengan plot. Cerita, sebenarnya hanya merupakan bahan mentah (raw material) dari sebuah karya. Apabila cerita itu
telah diolah melalui reka cipta, barulah ia menjadi plot karya yang bersangkutan.
Kelemahan lain, kebanyakan penulis kita adalah dalam penggunaan bahasa. Mereka berniat menulis karya sastra, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa harian, bahasa biasa, bukan bahasa literer. Kebanyakan karya-karya mereka juga hanya menyuguhkan cerita seadanya (bahan mentah), belum diolah menjadi plot.
Kita memang perlu bicara seni, termasuk seni fiksi. Sayang tidak sedikit orang yang menyuguhkan fiksi, tetapi bukan seni fiksi. Tidak sedikit, penulis, yang untuk menutupi kelemahan (karyanya) lalu melakukan berbagai upaya yang tidak relevan. Misalnya dengan menyuguhkan hal-hal yang berbau pornografis. Ada juga yang menjadikan bumbu politik, atau peristiwa politik, sebagai warna tulisannya. Tentu saja sastra politik juga sah-sah saja. Masalahnya, yang banyak terjadi, politik tampil sebagai polusi. Berbeda dengan dalam umumnya sastra Amerika Latin, di mana politik hadir sebagai tulang punggung estetika.
Tanya: Sekarang sedang marak buku/novel yg bercerita tentang satu tokoh masyarakat. Tdk sedikit yg memberi label 'pencitraan' pada karya-karya tersebut. Nah, pertanyaan saya apakah setiap karya tentang 'tokoh tertentu' apalagi di masa 'pencalonan' saat ini HARUS disebut sebagai karya sastra 'memuakkan', 'pencitraan', dan label miring lainnya?
Jawab: Kembali lagi ke atas bahwa "Apakah 'pencitraan' sebagai warna tulisannya, atau tampil
sebagai polusi, atau hadir sebagai tulang punggung estetika. Tema bukan hal utama, tapi bagaimana literasi itu disajikan
Tanya: Pada saat ini, sastrawan yang idealis akan 'mati', kecuali jika benar-benar sudah memiliki nama besar. Misal, ingin dimuat media, maka harus mematuhi aturan media. Atau ikut lomba, maka nasib karya ada pada selera juri. Bukankah itu termasuk pengebirian kreativitas? Jadi pertanyaanku, apa hanya menerbitkan secara indie murni saja yang bisa dijadikan jalan keluar agar idealisme sastrawan tetap tegak?
Jawab: Itu memang jalan keluar(salah satunya), namun seperti yang saya bilang diatas, apakah kapasitas kita sudah 'sedikit mampu' dalam menilai karya? inilah yang terjadi sekarang, indie label sekarang dianggap sampah oleh 'pihak tertentu' karena ketidakmutuan karya yang beredar dan mendominasi.
Tanya: Kata NH. Dini, "naluri yg mendasari penciptaan." Apakah sekarang, penulis jg seperti itu?
Jawab: Sekarang? Dengan terbukanya kebebasan mencipta, kita menyaksikan membanjirnya tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tumbuh menjamur di mana-mana. Gejala seperti itu mungkin membesarkan hati kita. Tetapi apakah dengan demikian kesusasteraan kita mengalami kemajuan atau perkembangan yang berarti?
Ternyata tidak demikian. Kebebasan memang penting, bahkan cenderung menentukan.Tetapi ternyata kebebasan mencipta saja tidak cukup. Untuk menciptakan karya yang bernilai juga memerlukan kedalaman dan keluasan wawasan, selain daya kreativitas yang tinggi. Hingga kini karya sastra kita masih terpuruk. Di gelanggang internasional, sastra kita belum bisa bicara apa-apa. perlu disayangkan tentu perlu juga kenyataan seperti itu jadi renungan bersama.
Kita tidak bisa bicara hanya soal kuantitas. Masalah kualitas karya selamanya merupakan hal yang terpenting sepanjang kita bicara seni sastra. Pada mulanya, kata sastra memang berarti tulisan atau karya tertulis. Namun tidak setiap karya tertulis adalah karya sastra. Samalah halnya, tidak setiap novel adalah karya sastra. Sekarang ini kebanyakan yang terbit adalah karya tulis, tetapi tidak banyak yang berkualifikasi karya sastra. sekarang dunia literasi berkembang pesat, tapi tidak demikian dengan dunia sastra. setiap penulis dianggap sastrawan. mungkin karena itulah karya terbitan indie dipandang sebelah mata.
Tanya : Sebenarnya ada ko kritikus sastra mumpuni saa ini, salah satunya Acep Iwan Saidi. Mungkin karena ruang yang diberikan pada kritik sastra kurang, maka kritikus sastra tak segiat zaman H.B. Jassin. Apa ya kira-kira pengaruh dari kurangnya kritikus?
Jawab: Bicara masalah kenapa kritikus tenggelam, Ada penulis yang memandang peran kritikus sama dengan benalu. Maka kritikus pun akan kenhilangan pekerjaan, jika tidak ada karya yang mau dikritik. Bahkan ada sastrawan ternama, ketika karyanya dikritik, naik pitam. Dari mulutnya yang sering bernada tasawuf, berhamburan makian bagaikan orang sedang mabuk. Kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik.
Tanya : Lalu, apakah dengan hanya nilai-nilai filosofis dan religius bisa disebut karya sastra?>
Jawab: Kita tidak bisa mengatakan bahwa tiap karya yang syarat nilai-nilai agama atau filsafat pastilah sebuah karya sastra yang berhasil. Dengan kata lain, tidak dengan sendirinya seorang ahli agama atau ahli filsafat adalah sastrawan. Karya sastra yang baik memuat nilai-nilai kehidupan, antara lain seperti nilai religi dan filsafat. Namun, tak harus menjadi ahli terhadap 2 hal itu jika ingin bersastra. Analoginya, aku tak harus jadi pelacur kan untuk menulis tentang prostitusi?
Tanya: Kalau terjadi kekurangan pertumbuhan sastra, karya sastra, dan kritik sastra--siapa yg harus dipersalahkan?Apa karena kurangnya pengetahuan masyarakat ttg karya sastra yg apik? Atau kurangnya daya beli masyrakat trhdap karya sastra? Atau kritikus sastra yg entah tersesat di mana?
Jawab: Jangan mencari salah siapa, tapi kita sebagai bagian dari itu kita harus memperbaiki bersama.
Tanya: Bagaimana mengidentifikasi suatu tulisan trmasuk karya sastra, karya tulis, atau yg bukan sastra?
Jawab: Bagaimana mengidentifikasi suatu tulisan termasuk karya sastra, karya tulis, atau yg bukan sastra? kuliah gue kan gak kelar neng, elu dong yang lebih jago . ngetes gue lu ya?
Tanya: Aku udah jarang menemukan karya sastra yang benar2 bisa membuat pembaca terhanyut dalam cerita yang disajikan. Selama ini yang memang benar2 matang dalam penyajian karya sastra mulai berkurang seiring berjalannya waktu. Apakah karya sastra sudah tidak diminati ato semakin mudahnya menerima karya tanpa proses editor Kak?
Jawab : Bukan tidak diminati, namun banyak yang kurang mumpuni sehingga berangsur-angsur turun
kualitas. Terlebih lagi, para editor adalah bagian dari komoditi pasar, dimana mereka lebih menomorsatukan “laris di pasaran” daripada kualitas itu sendiri.
Selain itu, kekuatan sastra sekarang pudar justru karena kebebasan. Sekarang kita bisa menulis apa saja, tapi apakah ada efeknya? Sementara dulu, karya sastra sampai dicekal, penulisnya dipenjara, tapi itu kan bukti jika sastra mampu berbicara.
Tanya: Bagaimana salah satu cara memperbaikinya? Sedangkan skrg 'kuasa media' benar-benar memutarbalikkan keadaan. Ada berapa media cetak/majalah sastra di Indonesia? Horison? Kompas? Tempo (yg ini jurnalisme sastra)? Apa lagi?
Jawab: Sekarang tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang unggul, setidaknya memadai. Dengan demikian banyaknya karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra kita selama ini. Jangan pula lupa, bahwa koran atau majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri. (mainstream yang memang selera sastranya turun)
Kemajuan bukan dinilai dari kuantitas tetapi kualitas....kalau kebertulan ke toko buku, saya selalu menyempatkan diri ke bagian sastra, namun saya kecewa karena buku yang berderet kebanyakan karya teenlit dan chicklit, apalagi yang mendominasi kalau bukan cerita cinta anak remaja yang terlalu indah sehingga jauh dari kenyataan.INI TIDAK BISA DISALAHKAN ....mungkin pemahaman tentang sastra itu hanyalah sekadar cerita penghibur, kalau pemahaman tentang sastra seperti ini sulit diharapkan kalau dunia penulisan sastra kita bisa maju dan berkualitas.
Tanya : Sepertinya kualitas sastra juga udah merosot yah, masa karya yang struktur kalimatnya ancur-ancuran bisa masuk koran.
Jawab : Kualitas bukanlah satu-satunya jaminan suatu tulisan dapat dimuat dengan sukses di sebuah media. Masih banyak faktor lain yang menentukan.
Tanya: Apa karya sastra juga membingungkan pembaca?
Jawab : Nah mungkin ini salah satu faktor pemicunya mengapa sastra sekarang mengalami kemerosotan. Pembaca yang menyalahkan tulisan atau memang tulisannya yang dibuat 'sok' rumit supaya disangka nyastra hingga membingungkan pembaca. Entahlah
Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya. bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh.
Tanya : Benar2 harus matang dalam penyajian karya sastra yang berarti dan universal dong Kak?
Jawab : Pembaca harusnya dapat mendekati karya sastra dan dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi — yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkanperkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-pembahan yang halus dalam watak kultural.
Tanya : Seperti permainan musik lama yang dimodifikasi dengan aransemen masa kini, apa ini istilah yang Kakak maksudkan?
Jawab : Karya sastra ibarat orkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan yang penting itu, menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini.
Tanya : Berarti penulis karya sastra dulu memberikan karya yang dapa dicerna
oleh pembaca jaman sekarang tanpa harus mengurangi aturan yang ada, maksudnya ini Kak?
Jawab : Tumbuhnya resepsi sastra dipacu juga oleh alam pemikiran filsafat (Fenomenologi) yang
berkembang pada masa itu. bukan karyanya yang mengikuti jaman tapi pembaca yang juga harus tahu pengetahuan darimana karya itu berasal (ruang&waktu)
Salam, Wirasatriaji
Kejadian seperti itu tampaknya akan berjalan terus, dalam kurun waktu yang akan cukup panjang. Itu dimungkinkan, karena tidak adanya seleksi terhadap karya-karya yang akan diterbitkan(maraknya Self Publishing service). Pertama, karena setiap penulis bisa saja menerbitkan karyanya sendiri, tanpa lewat saringan tertentu. Kedua, kita memang sedang tidak punya kritikus sastra yang berwibawa dan professional. Krisis kritikus sastra? Katakanlah demikian. Tentu sangat menyedihkan (juga memalukan), sikap penulis tertentu yang sangat naïf terhadap kritik. Ada penulis yang memandang peran kritikus sama dengan benalu.
Bagaimana dengan sastra koran dan sastra majalah? Pemuatan di media tentu melalui tangan-tangan redaktur. Tetapi tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang unggul, setidaknya memadai. Dengan demikian banyaknya karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra kita selama ini. Jangan pula lupa, bahwa koran atau
majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri (mainstream).
Tetapi bagaimanapun kualitas karya sastra ditentukan terutama oleh mutu sastrawannya itu sendiri. Sayangnya, terlalu banyak penulis kita, yang terlalu minim pengetahuannya tentang sastra itu sendiri. Masih banyak penulis yang tidak paham,misalnya,apa beda cerita dengan plot. Cerita, sebenarnya hanya merupakan bahan mentah (raw material) dari sebuah karya. Apabila cerita itu
telah diolah melalui reka cipta, barulah ia menjadi plot karya yang bersangkutan.
Kelemahan lain, kebanyakan penulis kita adalah dalam penggunaan bahasa. Mereka berniat menulis karya sastra, tetapi bahasa yang digunakan adalah bahasa harian, bahasa biasa, bukan bahasa literer. Kebanyakan karya-karya mereka juga hanya menyuguhkan cerita seadanya (bahan mentah), belum diolah menjadi plot.
Kita memang perlu bicara seni, termasuk seni fiksi. Sayang tidak sedikit orang yang menyuguhkan fiksi, tetapi bukan seni fiksi. Tidak sedikit, penulis, yang untuk menutupi kelemahan (karyanya) lalu melakukan berbagai upaya yang tidak relevan. Misalnya dengan menyuguhkan hal-hal yang berbau pornografis. Ada juga yang menjadikan bumbu politik, atau peristiwa politik, sebagai warna tulisannya. Tentu saja sastra politik juga sah-sah saja. Masalahnya, yang banyak terjadi, politik tampil sebagai polusi. Berbeda dengan dalam umumnya sastra Amerika Latin, di mana politik hadir sebagai tulang punggung estetika.
Tanya Jawab Tentang Sastra Masa Kini
Oleh: Nektarity
Tanya: Sekarang sedang marak buku/novel yg bercerita tentang satu tokoh masyarakat. Tdk sedikit yg memberi label 'pencitraan' pada karya-karya tersebut. Nah, pertanyaan saya apakah setiap karya tentang 'tokoh tertentu' apalagi di masa 'pencalonan' saat ini HARUS disebut sebagai karya sastra 'memuakkan', 'pencitraan', dan label miring lainnya?
Jawab: Kembali lagi ke atas bahwa "Apakah 'pencitraan' sebagai warna tulisannya, atau tampil
sebagai polusi, atau hadir sebagai tulang punggung estetika. Tema bukan hal utama, tapi bagaimana literasi itu disajikan
Tanya: Pada saat ini, sastrawan yang idealis akan 'mati', kecuali jika benar-benar sudah memiliki nama besar. Misal, ingin dimuat media, maka harus mematuhi aturan media. Atau ikut lomba, maka nasib karya ada pada selera juri. Bukankah itu termasuk pengebirian kreativitas? Jadi pertanyaanku, apa hanya menerbitkan secara indie murni saja yang bisa dijadikan jalan keluar agar idealisme sastrawan tetap tegak?
Jawab: Itu memang jalan keluar(salah satunya), namun seperti yang saya bilang diatas, apakah kapasitas kita sudah 'sedikit mampu' dalam menilai karya? inilah yang terjadi sekarang, indie label sekarang dianggap sampah oleh 'pihak tertentu' karena ketidakmutuan karya yang beredar dan mendominasi.
Tanya: Kata NH. Dini, "naluri yg mendasari penciptaan." Apakah sekarang, penulis jg seperti itu?
Jawab: Sekarang? Dengan terbukanya kebebasan mencipta, kita menyaksikan membanjirnya tulisan-tulisan dalam berbagai media massa, juga yang terbit dalam bentuk buku. Lembaga penerbitan buku juga tumbuh menjamur di mana-mana. Gejala seperti itu mungkin membesarkan hati kita. Tetapi apakah dengan demikian kesusasteraan kita mengalami kemajuan atau perkembangan yang berarti?
Ternyata tidak demikian. Kebebasan memang penting, bahkan cenderung menentukan.Tetapi ternyata kebebasan mencipta saja tidak cukup. Untuk menciptakan karya yang bernilai juga memerlukan kedalaman dan keluasan wawasan, selain daya kreativitas yang tinggi. Hingga kini karya sastra kita masih terpuruk. Di gelanggang internasional, sastra kita belum bisa bicara apa-apa. perlu disayangkan tentu perlu juga kenyataan seperti itu jadi renungan bersama.
Kita tidak bisa bicara hanya soal kuantitas. Masalah kualitas karya selamanya merupakan hal yang terpenting sepanjang kita bicara seni sastra. Pada mulanya, kata sastra memang berarti tulisan atau karya tertulis. Namun tidak setiap karya tertulis adalah karya sastra. Samalah halnya, tidak setiap novel adalah karya sastra. Sekarang ini kebanyakan yang terbit adalah karya tulis, tetapi tidak banyak yang berkualifikasi karya sastra. sekarang dunia literasi berkembang pesat, tapi tidak demikian dengan dunia sastra. setiap penulis dianggap sastrawan. mungkin karena itulah karya terbitan indie dipandang sebelah mata.
Tanya : Sebenarnya ada ko kritikus sastra mumpuni saa ini, salah satunya Acep Iwan Saidi. Mungkin karena ruang yang diberikan pada kritik sastra kurang, maka kritikus sastra tak segiat zaman H.B. Jassin. Apa ya kira-kira pengaruh dari kurangnya kritikus?
Jawab: Bicara masalah kenapa kritikus tenggelam, Ada penulis yang memandang peran kritikus sama dengan benalu. Maka kritikus pun akan kenhilangan pekerjaan, jika tidak ada karya yang mau dikritik. Bahkan ada sastrawan ternama, ketika karyanya dikritik, naik pitam. Dari mulutnya yang sering bernada tasawuf, berhamburan makian bagaikan orang sedang mabuk. Kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik.
Tanya : Lalu, apakah dengan hanya nilai-nilai filosofis dan religius bisa disebut karya sastra?>
Jawab: Kita tidak bisa mengatakan bahwa tiap karya yang syarat nilai-nilai agama atau filsafat pastilah sebuah karya sastra yang berhasil. Dengan kata lain, tidak dengan sendirinya seorang ahli agama atau ahli filsafat adalah sastrawan. Karya sastra yang baik memuat nilai-nilai kehidupan, antara lain seperti nilai religi dan filsafat. Namun, tak harus menjadi ahli terhadap 2 hal itu jika ingin bersastra. Analoginya, aku tak harus jadi pelacur kan untuk menulis tentang prostitusi?
Tanya: Kalau terjadi kekurangan pertumbuhan sastra, karya sastra, dan kritik sastra--siapa yg harus dipersalahkan?Apa karena kurangnya pengetahuan masyarakat ttg karya sastra yg apik? Atau kurangnya daya beli masyrakat trhdap karya sastra? Atau kritikus sastra yg entah tersesat di mana?
Jawab: Jangan mencari salah siapa, tapi kita sebagai bagian dari itu kita harus memperbaiki bersama.
Tanya: Bagaimana mengidentifikasi suatu tulisan trmasuk karya sastra, karya tulis, atau yg bukan sastra?
Jawab: Bagaimana mengidentifikasi suatu tulisan termasuk karya sastra, karya tulis, atau yg bukan sastra? kuliah gue kan gak kelar neng, elu dong yang lebih jago . ngetes gue lu ya?
Tanya: Aku udah jarang menemukan karya sastra yang benar2 bisa membuat pembaca terhanyut dalam cerita yang disajikan. Selama ini yang memang benar2 matang dalam penyajian karya sastra mulai berkurang seiring berjalannya waktu. Apakah karya sastra sudah tidak diminati ato semakin mudahnya menerima karya tanpa proses editor Kak?
Jawab : Bukan tidak diminati, namun banyak yang kurang mumpuni sehingga berangsur-angsur turun
kualitas. Terlebih lagi, para editor adalah bagian dari komoditi pasar, dimana mereka lebih menomorsatukan “laris di pasaran” daripada kualitas itu sendiri.
Selain itu, kekuatan sastra sekarang pudar justru karena kebebasan. Sekarang kita bisa menulis apa saja, tapi apakah ada efeknya? Sementara dulu, karya sastra sampai dicekal, penulisnya dipenjara, tapi itu kan bukti jika sastra mampu berbicara.
Tanya: Bagaimana salah satu cara memperbaikinya? Sedangkan skrg 'kuasa media' benar-benar memutarbalikkan keadaan. Ada berapa media cetak/majalah sastra di Indonesia? Horison? Kompas? Tempo (yg ini jurnalisme sastra)? Apa lagi?
Jawab: Sekarang tidak banyak redaktur yang memiliki kapasitas dan cita rasa sastra yang unggul, setidaknya memadai. Dengan demikian banyaknya karya-karya yang beredar lewat media massa tidak pernah mampu mendongkrak kualitas sastra kita selama ini. Jangan pula lupa, bahwa koran atau majalah adalah komoditi yang tidak lepas dari spirit industri. (mainstream yang memang selera sastranya turun)
Kemajuan bukan dinilai dari kuantitas tetapi kualitas....kalau kebertulan ke toko buku, saya selalu menyempatkan diri ke bagian sastra, namun saya kecewa karena buku yang berderet kebanyakan karya teenlit dan chicklit, apalagi yang mendominasi kalau bukan cerita cinta anak remaja yang terlalu indah sehingga jauh dari kenyataan.INI TIDAK BISA DISALAHKAN ....mungkin pemahaman tentang sastra itu hanyalah sekadar cerita penghibur, kalau pemahaman tentang sastra seperti ini sulit diharapkan kalau dunia penulisan sastra kita bisa maju dan berkualitas.
Tanya : Sepertinya kualitas sastra juga udah merosot yah, masa karya yang struktur kalimatnya ancur-ancuran bisa masuk koran.
Jawab : Kualitas bukanlah satu-satunya jaminan suatu tulisan dapat dimuat dengan sukses di sebuah media. Masih banyak faktor lain yang menentukan.
Tanya: Apa karya sastra juga membingungkan pembaca?
Jawab : Nah mungkin ini salah satu faktor pemicunya mengapa sastra sekarang mengalami kemerosotan. Pembaca yang menyalahkan tulisan atau memang tulisannya yang dibuat 'sok' rumit supaya disangka nyastra hingga membingungkan pembaca. Entahlah
Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya. bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sungguh.
Tanya : Benar2 harus matang dalam penyajian karya sastra yang berarti dan universal dong Kak?
Jawab : Pembaca harusnya dapat mendekati karya sastra dan dua arah: pertama, sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan kedua, sebagai tradisi — yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkanperkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-pembahan yang halus dalam watak kultural.
Tanya : Seperti permainan musik lama yang dimodifikasi dengan aransemen masa kini, apa ini istilah yang Kakak maksudkan?
Jawab : Karya sastra ibarat orkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan yang penting itu, menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini.
Tanya : Berarti penulis karya sastra dulu memberikan karya yang dapa dicerna
oleh pembaca jaman sekarang tanpa harus mengurangi aturan yang ada, maksudnya ini Kak?
Jawab : Tumbuhnya resepsi sastra dipacu juga oleh alam pemikiran filsafat (Fenomenologi) yang
berkembang pada masa itu. bukan karyanya yang mengikuti jaman tapi pembaca yang juga harus tahu pengetahuan darimana karya itu berasal (ruang&waktu)
"Belajar sastra, sama saja mempelajari cinta, tak ada habisnya, tersiksa tapi aku suka"
Salam, Wirasatriaji
1 komentar:
Untuk mengasah rasa/naluri sastra, mungkin perlu pembiasaan sejak usia dini ya? Masalahnya, jangankan 'sastra anak', bahkan buku teks SD pun tak jarang mengandung muatan yang tidak-tidak
Posting Komentar