Inilah salah satu kritik karya(belum pantas masuk ke kritik sastra) yang kami kupas dari salah satu anggota Nektarity.
Membaca sajak-sajak Zilian adalah membaca gelisah, juga kesepian. Ada beberapa sajak Zilian yang menarik perhatian saya. Yang membuat saya ingin membacanya lebih dalam seperti menembus rimbunnya rimba belantara kata dan mencoba menyibak tiap semak-semak sajak yang ditulisnya.
Sajak-sajak Zilian identik dengan gelisah, kesepian, harapan yang kadang hanya berupa imajinya saja. Sebagai seorang yang sedang berproses, kadang Zilian kurang bisa mengontrol emosinya sehingga beberapa sajaknya terkesan asal tulis atau hanya untuk meluapkan emosinya saja. Sajak yang demikian itu miskin estetika, namun sebenarnya kaya akan kandungan emosi yang sering meluap tanpa kompromi. Memang banyak ditemui sajak-sajak yang menonjolkan semangat dan emosi seperti sajak-sajak Rendra atau Wiji Thukul. Namun, meskipun sajak-sajak Rendra atau Wiji Thukul miskin estetika tetapi punya jiwa dan kontrol emosi yang membuat sajak-sajak itu serasa hidup dan bisa berkata dengan sendirinya. Maaf, di sini saya tidak bermaksud membandingkan sajak Zilian dengan sajak-sajak orang lain.
Mari perhatikan sajak Zilian berikut ini:
Saya menemukan metafora yang lembut pada sajak “Bukan Dalam Heningmu” di atas, seolah Zilian ingin mengungkapkan bahwa dia berada dalam pengharapan yang dalam, penantian yang ternyata berujung kehampaan. Pada sajak di atas, terlihat sentuhan kelembutan (romantis) dari seorang Zilian. Zilian menginginkan sesuatu seperti yang dia inginkan namun yang terjadi adalah bahwa dia dibangunkan dari tidur, sementara sebenarnya matanya tidaklah terpejam. Namun menurut saya Zilian belum sepenuhnya berhasil membentuk diksi dan metafora yang lembut dan mengalir. Krena hanya bagian kecil saja yang saya katakan lembut.
Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Zilian, juga salah satu penulis (baca: penyair) yang muncul di grup ini, tak luput dari pengawasan saya selaku pengurus grup. Ini semata-mata sebagai bentuk perhatian terhadap perkembangan anggota. Strukturalisme dalam berpuisi Zilian semakin ada kemajuan dari sebelumnya.
Kembali pada suasana puitiknya, sejauh ini karya-karya Zilian rata-rata berisi cinta kesepian dari sesuatu yang masih jauh. Cinta kepada pasangan kodrati atau lara hati. Semua dihadapi dengan bijaksana, tak ada kalimat yang pecah, kesemuanya tetap terjaga. Meski masih ada beberapa kata-kata yang klasik seolah bersolek biar terlihat indah. Namun bagi saya, karya Zilian punya gaya pengucapan yang lembut.
Seseorang akan menjadi sangat kreatif apabila berjarak dengan kehidupannya. Meski, bukan berarti orang tersebut harus menyingkir dalam kehidupan, melainkan mengambil sebuah jarak (jeda) antara suatu peristiwa untuk ditelurkan dalam sajak-sajak atau tulisan lainnya. Barangkali itulah yang perlu ditempuh oleh Zilian. Sesekali ada perlunya mengambil jarak pada realitas ketika ingin menelurkan satu karya.
Lebih dari itu, Zilian mencoba menguliti dirinya sendiri dengan metafora yang tetap lembut namun lebih tebal maknanya. Seperti sajak berikut:
Pada sajak di atas, seolah kalimat mengalir begitu saja, seperti pengakuan kebanggaan di depan khalayak. Dan uniknya dia menyerupakan puisi yang basi namun masih hangat. Menarik sekali. Zilian dengan rela mendeklamasikan dirinya yang sedang lara hati.
Nuansa kesepian, cinta, harapan bahkan kepedihan terlihat nyata dalam beberapa sajak Zilian. Saya membutuhkan waktu beberapa hari untuk membaca sajak-sajak Zilian yang dia kirimkan pada saya dalam pembuatan proyek KOMPILOGI LASKAR PENATIC tempo lalu. Dan saya menemukan sebuah romantisme gelisah dari sajak-sajaknya. Sajak berikut sedikit membuat saya terhanyut:
Meski ada beberapa sajak yang mencair, sajak Zilian mencoba menembus setiap sekat kehidupan, sebuah romantisme hidup yang lama terkubur, ditambah citra sepi yang mengendap. Zilian secara perlahan menggoda pembaca untuk menerjemahkan sendiri setiap larik kata yang disusun dalam sajaknya. Hal ini tentunya bergantung pula pada pengalaman dan kekayaan intelektual yang dimiliki pembaca. Sebab, membaca dan memahami sajak adalah kerja tafsir, yang tak setiap orang sama mendefinisikan suatu hal. Keragaman tafsir itulah yang mencerminkan kekayaan sebuah sajak. Bukankah kesenian bergantung pada citra rasa orang per orang (subjektif)?
Salam,
Wirasatriaji
Profil Zilian:
Zilian Zahra, perempuan yang lahir di Pekalongan dua puluh tujuh tahun yang lalu pernah punya mimpi jadi penulis, tapi sampai sekarang berhenti di Rumpun Nektar. Karyanya tergabung dalam Antologi 103 Penyair Pekalongan. Selain menulis sajak, sesekali menulis cerpen. Bisa berhubungan lewat twitter @zilianzahra / fb.com/zilianzahra
Romantisme Gelisah dari Karya Zilian
Membaca sajak-sajak Zilian adalah membaca gelisah, juga kesepian. Ada beberapa sajak Zilian yang menarik perhatian saya. Yang membuat saya ingin membacanya lebih dalam seperti menembus rimbunnya rimba belantara kata dan mencoba menyibak tiap semak-semak sajak yang ditulisnya.
Sajak-sajak Zilian identik dengan gelisah, kesepian, harapan yang kadang hanya berupa imajinya saja. Sebagai seorang yang sedang berproses, kadang Zilian kurang bisa mengontrol emosinya sehingga beberapa sajaknya terkesan asal tulis atau hanya untuk meluapkan emosinya saja. Sajak yang demikian itu miskin estetika, namun sebenarnya kaya akan kandungan emosi yang sering meluap tanpa kompromi. Memang banyak ditemui sajak-sajak yang menonjolkan semangat dan emosi seperti sajak-sajak Rendra atau Wiji Thukul. Namun, meskipun sajak-sajak Rendra atau Wiji Thukul miskin estetika tetapi punya jiwa dan kontrol emosi yang membuat sajak-sajak itu serasa hidup dan bisa berkata dengan sendirinya. Maaf, di sini saya tidak bermaksud membandingkan sajak Zilian dengan sajak-sajak orang lain.
Mari perhatikan sajak Zilian berikut ini:
Bukan Dalam Heningmu
1/
Waktu merajam makna
Tak tahu aljabar memecah hitungan
Diam-diam menggoda iman
Laksana fajar yang tak pernah datang
Kegelapan, kubuka tirainya disini
Sendiri, berbadan gelisah gundah kalut
Bersama impian yang kian mengabur
Dan janji yang semakin padam meradang
Merenggut kesucian hati
Yang terlalu dini untuk menggumpal
Kini aku mampu mengartikan makna
Setiap desah nafasmu yang mengadu
Bersama tirai yang semakin kau tutup
Dan kau buka untuk hati yang lain
Dalam heningmu
2/
Aku terperanjat ketika jalanmu mulai gontai
Dan bukan aku yang kau tuju
Namun dia yang kau mau
Lalu dimanakah janji yang kau ukir
Dua bulan yang lalu?
Entahlah,
Harapan mengabur, jiwa menata sunyi
Bersama kehampaan diri
Menanti hadirmu disini kembali
Bukan dalam heningmu
Brebes, 11 November 2011
Saya menemukan metafora yang lembut pada sajak “Bukan Dalam Heningmu” di atas, seolah Zilian ingin mengungkapkan bahwa dia berada dalam pengharapan yang dalam, penantian yang ternyata berujung kehampaan. Pada sajak di atas, terlihat sentuhan kelembutan (romantis) dari seorang Zilian. Zilian menginginkan sesuatu seperti yang dia inginkan namun yang terjadi adalah bahwa dia dibangunkan dari tidur, sementara sebenarnya matanya tidaklah terpejam. Namun menurut saya Zilian belum sepenuhnya berhasil membentuk diksi dan metafora yang lembut dan mengalir. Krena hanya bagian kecil saja yang saya katakan lembut.
Membaca karya seorang penyair tidak hanya perjuangan menembus rimba kata yang penuh dengan sulur simbol dan metafora, tapi juga menelusuri riwayat perjalanan seorang penyair dengan referensinya. Referensi wacana lisan dan tulisan yang tentu saja juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris pribadi dari si penyair. Zilian, juga salah satu penulis (baca: penyair) yang muncul di grup ini, tak luput dari pengawasan saya selaku pengurus grup. Ini semata-mata sebagai bentuk perhatian terhadap perkembangan anggota. Strukturalisme dalam berpuisi Zilian semakin ada kemajuan dari sebelumnya.
Kembali pada suasana puitiknya, sejauh ini karya-karya Zilian rata-rata berisi cinta kesepian dari sesuatu yang masih jauh. Cinta kepada pasangan kodrati atau lara hati. Semua dihadapi dengan bijaksana, tak ada kalimat yang pecah, kesemuanya tetap terjaga. Meski masih ada beberapa kata-kata yang klasik seolah bersolek biar terlihat indah. Namun bagi saya, karya Zilian punya gaya pengucapan yang lembut.
Seseorang akan menjadi sangat kreatif apabila berjarak dengan kehidupannya. Meski, bukan berarti orang tersebut harus menyingkir dalam kehidupan, melainkan mengambil sebuah jarak (jeda) antara suatu peristiwa untuk ditelurkan dalam sajak-sajak atau tulisan lainnya. Barangkali itulah yang perlu ditempuh oleh Zilian. Sesekali ada perlunya mengambil jarak pada realitas ketika ingin menelurkan satu karya.
Lebih dari itu, Zilian mencoba menguliti dirinya sendiri dengan metafora yang tetap lembut namun lebih tebal maknanya. Seperti sajak berikut:
Puisi hati
Jika diminta untuk berpuisi
Kuakan mempuisikan tentang cerita basi
Yang masih hangat dan berwarna pasi
Agar singkat kukabarkan yang sejati
Bahwa aku sedang lara hati
Pekalongan, januari 2012
Pada sajak di atas, seolah kalimat mengalir begitu saja, seperti pengakuan kebanggaan di depan khalayak. Dan uniknya dia menyerupakan puisi yang basi namun masih hangat. Menarik sekali. Zilian dengan rela mendeklamasikan dirinya yang sedang lara hati.
Nuansa kesepian, cinta, harapan bahkan kepedihan terlihat nyata dalam beberapa sajak Zilian. Saya membutuhkan waktu beberapa hari untuk membaca sajak-sajak Zilian yang dia kirimkan pada saya dalam pembuatan proyek KOMPILOGI LASKAR PENATIC tempo lalu. Dan saya menemukan sebuah romantisme gelisah dari sajak-sajaknya. Sajak berikut sedikit membuat saya terhanyut:
Sebait Kata Untuk Kekasihku
Kasihku, jika waktu itu telah datang
Ijinkan aku untuk memelukmu
Sebagai prasasti penebus jani
Agar tenang dibalut kafan
Pekalongan, 21 Maret 2012
Meski ada beberapa sajak yang mencair, sajak Zilian mencoba menembus setiap sekat kehidupan, sebuah romantisme hidup yang lama terkubur, ditambah citra sepi yang mengendap. Zilian secara perlahan menggoda pembaca untuk menerjemahkan sendiri setiap larik kata yang disusun dalam sajaknya. Hal ini tentunya bergantung pula pada pengalaman dan kekayaan intelektual yang dimiliki pembaca. Sebab, membaca dan memahami sajak adalah kerja tafsir, yang tak setiap orang sama mendefinisikan suatu hal. Keragaman tafsir itulah yang mencerminkan kekayaan sebuah sajak. Bukankah kesenian bergantung pada citra rasa orang per orang (subjektif)?
Salam,
Wirasatriaji
Profil Zilian:
Zilian Zahra, perempuan yang lahir di Pekalongan dua puluh tujuh tahun yang lalu pernah punya mimpi jadi penulis, tapi sampai sekarang berhenti di Rumpun Nektar. Karyanya tergabung dalam Antologi 103 Penyair Pekalongan. Selain menulis sajak, sesekali menulis cerpen. Bisa berhubungan lewat twitter @zilianzahra / fb.com/zilianzahra
0 komentar:
Posting Komentar