Komunitas Penulis - Upaya mengungkapkan konsep tentang sastra
pada umumnya dipandang tidak mudah. Hal ini disadari juga oleh para
kritikus dan teoritis sastra yang merasa kesulitan untuk memberi jawaban
tentang pertanyaan “apakah sastra itu?”. Meskipun demikian, pada umumnya orang sepakat bahwa sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan. Jadi bahan merupakan karakteristik sastra sebagai karya seni.
Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya adalah sisi bahan, teks sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam berbagai cara oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengandung fungsi yang lebih umum daripada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada hakekatnya dalam rangka fungsi sastra berperan sebagai sarana komunikasi, yaitu untuk menyampaikan informasi.
Dengan memperlihatkan teori informasi yang cenderung memperlihatkan gejala reduksi dan penyusutan yang terkandung dalam informasi, maka pemanipulasian bahasa pada hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang maksimal. Dalam komunikasi sastra, sifat sastra yang paling penting adalah mampu menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula
Dalam paradigma sastra Islam, konsep baku sastra dalam perspektif Islam belum disepakati secara menyeluruh. Belum matangnya paradigma sastra dalam perspektif Islam disebabkan karena adanya perdebatan dan kontroversi yang tidak pernah tuntas tentang sastra dalam dalam perspektif Islam. Perdebatan yang tidak pernah tuntas ini disebabkan oleh banyak faktor. Di antara faktor yang sangat menonjol adalah adanya beberapa ayat dan hadits Nabi yang ditafsirkan oleh sebagian besar ulama sebagai bukti tekstual kekurang-simpatikan Islam dengan apa yang disebut dengan seni sastra
Namun pada masa sekarang arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang proporsional. Di kalangan umat Islam sendiri sastra sudah dapat diterima kembali dan menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah ada bahkan sejak zaman Wali Songo. Dalam era modern Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor keterlibatan ulama di dunia sastra. Karya sastranya yang sangat terkenal diantaranya: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Sampai tahun 1990-an sangat sedikit ulama yang muncul berdakwah lewat dunia seni dan sastra. Selain Muhammad Zuhri satu ulama yang mengisi kelangkaan itu adalah KH. Mustofa Bisri yang meluncurkan karyanya lewat Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta Ontologi Puisi Ohoi 1994.
Dr. Muhammad Qutub, seorang ulama Mesir adik dari tokoh sentral dan pendiri Ikhwan Muslimin (Islamic Brotherhood) Sayyid Qutub dalam bukunya Manhaj al-Fan al-Islamy mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa agama itu mencari kebenaran, seni sastra mencari keindahan. Agama sangat menjunjung akhlak dan al-Quran sedang seni membenci aturan termasuk aturan moral. Maka seni Islam haruslah merupakan kumpulan nasehat, kata hikmah. Pengertian itu menurut Qutub adalah pandangan yang sangat sempit terhadap seni dan Islam. Menurutnya wilayah objek seni dan sastra Islam adalah semua wilayah kehidupan yang diungkap dari jiwa yang penuh keimanan dan juga mengeksplorasi dengan penuh keimanan. Misalnya, dalam mengungkap segi-segi kehidupan tidak sempit, dalam mengungkap hubungan antar jenis manusia, tidak berhenti hanya pada masalah seksualitas kemudian membahas hal-hal yang ada di sekitar kedua paha saja. Masalah hubungan antar jenis dalam hal seksualitas diungkap, tapi kemudian lebih dari itu dikembangkan lagi dalam aspek-aspek lain tentang nafsu dan aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Kemudian dalam masalah cinta tidak hanya cinta antar manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu adalah menggapai wilayah cinta yang lebih luas; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, yang diungkap secara luas dan mendalam tidak hanya kecintaan terhadap seksualitas
Terlepas dari kontroversi dan perdebatan tentang sastra Islam di atas, fenomena kehadiran sastra Islam tidak dapat dihilangkan dari realitas kehidupan. Pada tahun 1960-an seorang sastrawan Mesir Najib Kailany menggagas dan mencoba membangun sebuah konsep yang disebutnya dengan konsep “Sastra Islam”. Ide ini dituangkannya dalam beberapa buah bukunya: “al-Islamiyah wa al-Mazahib al-Adabiyah”, “al-Thariq Ila Ittihadin Islamiyyin” dan “Haula al-Din wa al-Daulah”. Konsep ini meski mendapat banyak respon namun belum nampak kemajuan dalam perkembangan pembahasannya. Respon yang cukup luas ini hanya sampai berwujud sebuah Muktamar Islam untuk al-Adab al-Islamy, muktamar yang pertama diadakan di India. Kedua di Universitas Madinah Saudi Arabia dan Ketiga di Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud Riyad. Muktamar–muktamar ini melahirkan badan sastra Islam tingkat Internasional yang disebut dengan Rabithah al-Adab al-Islamy al-Alamy yang diketuai oleh Ulama Besar India Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Hasany al-Nadawy. Dan pada tahun 1994 menerbitkan Jurnal al-Adab al-Islamy.
Pada tahun-tahun belakangan ini di Indonesia mulai sering dibicarakan tentang sastra sufi dan kecenderungan sufistik dalam sastra Indonesia, khususnya sehubungan dengan apa yang dinamakan Angkatan 70 atau sastra 70’an. Angkatan 70 dalam sastra ini bukan saja menampakkan kecenderungan sufistik, namun beberapa tokoh utamanya seperti: Danarto, Sutarzy Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, M.Fudoli Zaini, Sapardi Djoko Damono dll. mempelajari dengan serius tasawuf dengan kesusastraannya, malahan menerjemahkan pula karya-karya para penyair sufi. Dengan beberapa penyair dan seniman lain seperti Taufiq Ismail, Amak Baljun, Chairul Umam, Ikranegara, Hamid Jabbar, Putu Wijaya dll. Bahkan telah tampil dalam acara pembacaan khusus sajak-sajak penyair sufi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada tahun-tahun 1982, 1983 dan 1984, seperti Malam Rumi, Malam Hamzah Fansuri dan Peringatan Iqbal.
Pada pertengahan Mei 1984 di Indonesia muncul istilah sastra zikir. Yang mencetuskan adalah Taufik Ismail, si penyair Benteng dan Tirani. Istilah sastra zikir dilontarkannya melalui majalah Prisma nomor ekstra tahun XII 1984 dan langsung disambut kalangan sastrawan dengan perbincangan yang cukup hangat.
Sastra zikir adalah sebuah konsepsi sastra yang menyatakan bahwa karya sastra haruslah mengingatkan, yakni mengingatkan pembacanya kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Konsepsi ini menjadi landasan estetika yang utama bagi sastra zikir ini, bahkan sifatnya mutlak. Sementara persoalan-persoalan lain yang bersifat kulit seperti bahasa, pemilihan kata, gaya, dan seterusnya, merupakan standar estetika yang kedua.
Jika kita memperhatikan sajak-sajak Taufik Ismail, khususnya yang ditulis pada era 1980-an ke depan, secara logis kiranya kita dapat mempertanggung-jawabkan apa yang telah dinyatakan Taufik Ismail dengan konsep sastra zikirnya itu. Sajak-sajaknya, baik yang diterbitkan dalam antologi puisi maupun yang kemudian dimusikalisasikan oleh Bimbo, tampak jelas acuannya ke konsep itu. Yakni, menawarkan dimensi transenden, yang mengacu kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan orang pada keagungan Ilahi.
Istilah Sastra Islam kembali muncul menjadi bahan perdebatan di kalangan sastrawan muslim Indonesia ketika Abdul Hadi WM. Sekitar tahun 1995-an menulis artikel di harian Republika yang berjudul “Nafas Islam dalam Sastra Kontemporer” (Tohari, 1998:v). Dalam tulisan tersebut ia menekankan perlunya menghidupkan kembali Sastra Islam, yakni sastra yang berorientasi tauhid atau memiliki tujuan transendental. Yang ia maksudkan adalah terbukanya kembali ruang gerak yang selebar-lebarnya bagi pertumbuhan sastra sufistik Karena esensi penciptaan sastra adalah pencarian dan realisasi diri, maka setiap pengarang bebas memilih wawasan estetik dan kreatifnya serta pengucapannya sendiri. Sehingga kecenderungan sastra bernafas Islam harus ditanggapi secara wajar sebagai bagian dari upaya kebebasan kreatif maupun pencarian dan pengucapan diri.
Kemudian pada selang waktu berikutnya Simuh menulis pada media yang sama sebagai tanggapan atas tulisan Abdul Hadi WM. yang berjudul “Sastra Islam dan Masa Depan Umat”. Dalam tulisan tersebut Simuh mengkritik apa yang dilontarkan Abdul Hadi WM. mengenai pengertian sastra Islam. Menurut Simuh sastra Islam yang berkecenderungan sufistik itu berwatak ekspresif irrasional. Ia mengutamakan rasa pengalaman keagamaan semata. Maka, langsung atau tidak langsung memudarkan daya kritik keilmuan dalam Islam. Sebagai solusinya Simuh memperkenalkan apa yang disebut Sastra Islam Progresif, yakni sastra yang mencerahkan dan membawa semangat ijtihad.
Belakangan Abdul Hadi WM. menulis tanggapan balik atas tulisan Simuh dengan judul “Menjawab Persoalan Sastra Islam”. Menurutnya cakrawala sastra Islam sudah tentu sama luasnya dengan ajaran Islam itu sendiri. Karena itu, dalam memandang seni dan sastra Islam kita mesti bertolak dari dalam seni dan sastra Islam itu sendiri bukan dari arah luar sastra Islam. Dimensi tauhid sastra Islam yang ia maksudkan tidak melulu hanya ber-asyik-masyuk dengan Tuhan, tapi juga mencakup tanggung jawab sosial. Karena telah diakui bahwa tradisi sastra Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tradisi intelektual dan spiritualitasnya.
Namun jauh hari sebelum polemik antara Abdul Hadi WM. dengan Simuh berlangsung, Faruk menggugat pengistilahan sastra Islam itu sendiri. Ia menilai bahwa hubungan antara Islam dengan sastra sesungguhnya sangat problematik. Di samping ajaran Islam (secara tekstual) cenderung kurang simpatik terhadap apa yang disebut seni sastra, juga istilah sastra Islam itu sarat akan bias-bias orientalisme. Hal ini dikemukakan karena dalam kasus sastra Nusantara, wacana mengenai sastra Islam sejak lama diproduksi dan didistribusikan oleh para orientalis. Di samping menempatkan sastra sebagai fenomena estetik yang universal, para orientalis itu juga menempatkan sastra dibagi menjadi sastra berbagai wilayah seperti sastra Melayu, Jawa, Sunda, Bugis dan sebagainya dan sastra dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam dan sejenisnya.
Dari paparan fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa seni dan sastra tidak dapat kita pisahkan dari kehidupan umat Islam. Berbagai macam kontroversi dan dialektika sastra dan seni menunjukkan bahwa konsep sastra dalam perspektif al-Qur’an Islam belum terbangun kokoh sehingga membutuhkan kajian-kajian dan penelitian lebih lanjut yang lebih intens dan serius.
Kontroversi tentang hubungan Islam dan seni sastra ini menunjukkan betapa lemahnya bangunan keilmuan sastra dalam perspektif Islam. Untuk itu perlu dikaji dan dibangun secara lebih mendalam paradigma keilmuan sastra, macam-macam sumbernya, sarananya dan tata cara perolehannya.
Diambil dari beberapa sumber, diantaranya:
Sebagai satu sistem, sastra merupakan satu kebulatan dalam arti dapat dilihat dari berbagai sisi. Diantaranya adalah sisi bahan, teks sastra tidak ditentukan oleh bentuk strukturnya tetapi oleh bahasa yang digunakan dalam berbagai cara oleh masyarakat. Ini menunjukkan pengertian bahwa bahasa yang dipakai mengandung fungsi yang lebih umum daripada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahasa yang dipergunakan secara istimewa dalam ciptaan sastra pada hakekatnya dalam rangka fungsi sastra berperan sebagai sarana komunikasi, yaitu untuk menyampaikan informasi.
Dengan memperlihatkan teori informasi yang cenderung memperlihatkan gejala reduksi dan penyusutan yang terkandung dalam informasi, maka pemanipulasian bahasa pada hakekatnya dalam rangka mewujudkan sastra sebagai sarana komunikasi yang maksimal. Dalam komunikasi sastra, sifat sastra yang paling penting adalah mampu menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula
Fenomena Sastra Islam di Indonesia
Dalam paradigma sastra Islam, konsep baku sastra dalam perspektif Islam belum disepakati secara menyeluruh. Belum matangnya paradigma sastra dalam perspektif Islam disebabkan karena adanya perdebatan dan kontroversi yang tidak pernah tuntas tentang sastra dalam dalam perspektif Islam. Perdebatan yang tidak pernah tuntas ini disebabkan oleh banyak faktor. Di antara faktor yang sangat menonjol adalah adanya beberapa ayat dan hadits Nabi yang ditafsirkan oleh sebagian besar ulama sebagai bukti tekstual kekurang-simpatikan Islam dengan apa yang disebut dengan seni sastra
Namun pada masa sekarang arti sastra sudah dapat ditempatkan pada posisi yang proporsional. Di kalangan umat Islam sendiri sastra sudah dapat diterima kembali dan menjadi konsumsi sehari-hari untuk kehidupan dan keperluan dakwah. Keterlibatan ulama dalam dunia sastra bukan fenomena baru. Jauh sebelum Indonesia merdeka gejala semacam itu sudah ada bahkan sejak zaman Wali Songo. Dalam era modern Hamka adalah ulama pertama yang menjadi pelopor keterlibatan ulama di dunia sastra. Karya sastranya yang sangat terkenal diantaranya: Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Sampai tahun 1990-an sangat sedikit ulama yang muncul berdakwah lewat dunia seni dan sastra. Selain Muhammad Zuhri satu ulama yang mengisi kelangkaan itu adalah KH. Mustofa Bisri yang meluncurkan karyanya lewat Penerbit Pustaka Firdaus Jakarta Ontologi Puisi Ohoi 1994.
Dr. Muhammad Qutub, seorang ulama Mesir adik dari tokoh sentral dan pendiri Ikhwan Muslimin (Islamic Brotherhood) Sayyid Qutub dalam bukunya Manhaj al-Fan al-Islamy mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa agama itu mencari kebenaran, seni sastra mencari keindahan. Agama sangat menjunjung akhlak dan al-Quran sedang seni membenci aturan termasuk aturan moral. Maka seni Islam haruslah merupakan kumpulan nasehat, kata hikmah. Pengertian itu menurut Qutub adalah pandangan yang sangat sempit terhadap seni dan Islam. Menurutnya wilayah objek seni dan sastra Islam adalah semua wilayah kehidupan yang diungkap dari jiwa yang penuh keimanan dan juga mengeksplorasi dengan penuh keimanan. Misalnya, dalam mengungkap segi-segi kehidupan tidak sempit, dalam mengungkap hubungan antar jenis manusia, tidak berhenti hanya pada masalah seksualitas kemudian membahas hal-hal yang ada di sekitar kedua paha saja. Masalah hubungan antar jenis dalam hal seksualitas diungkap, tapi kemudian lebih dari itu dikembangkan lagi dalam aspek-aspek lain tentang nafsu dan aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Kemudian dalam masalah cinta tidak hanya cinta antar manusia antara laki-laki dan perempuan, tapi lebih dari itu adalah menggapai wilayah cinta yang lebih luas; cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, yang diungkap secara luas dan mendalam tidak hanya kecintaan terhadap seksualitas
Terlepas dari kontroversi dan perdebatan tentang sastra Islam di atas, fenomena kehadiran sastra Islam tidak dapat dihilangkan dari realitas kehidupan. Pada tahun 1960-an seorang sastrawan Mesir Najib Kailany menggagas dan mencoba membangun sebuah konsep yang disebutnya dengan konsep “Sastra Islam”. Ide ini dituangkannya dalam beberapa buah bukunya: “al-Islamiyah wa al-Mazahib al-Adabiyah”, “al-Thariq Ila Ittihadin Islamiyyin” dan “Haula al-Din wa al-Daulah”. Konsep ini meski mendapat banyak respon namun belum nampak kemajuan dalam perkembangan pembahasannya. Respon yang cukup luas ini hanya sampai berwujud sebuah Muktamar Islam untuk al-Adab al-Islamy, muktamar yang pertama diadakan di India. Kedua di Universitas Madinah Saudi Arabia dan Ketiga di Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud Riyad. Muktamar–muktamar ini melahirkan badan sastra Islam tingkat Internasional yang disebut dengan Rabithah al-Adab al-Islamy al-Alamy yang diketuai oleh Ulama Besar India Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Hasany al-Nadawy. Dan pada tahun 1994 menerbitkan Jurnal al-Adab al-Islamy.
Pada tahun-tahun belakangan ini di Indonesia mulai sering dibicarakan tentang sastra sufi dan kecenderungan sufistik dalam sastra Indonesia, khususnya sehubungan dengan apa yang dinamakan Angkatan 70 atau sastra 70’an. Angkatan 70 dalam sastra ini bukan saja menampakkan kecenderungan sufistik, namun beberapa tokoh utamanya seperti: Danarto, Sutarzy Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, M.Fudoli Zaini, Sapardi Djoko Damono dll. mempelajari dengan serius tasawuf dengan kesusastraannya, malahan menerjemahkan pula karya-karya para penyair sufi. Dengan beberapa penyair dan seniman lain seperti Taufiq Ismail, Amak Baljun, Chairul Umam, Ikranegara, Hamid Jabbar, Putu Wijaya dll. Bahkan telah tampil dalam acara pembacaan khusus sajak-sajak penyair sufi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki pada tahun-tahun 1982, 1983 dan 1984, seperti Malam Rumi, Malam Hamzah Fansuri dan Peringatan Iqbal.
Pada pertengahan Mei 1984 di Indonesia muncul istilah sastra zikir. Yang mencetuskan adalah Taufik Ismail, si penyair Benteng dan Tirani. Istilah sastra zikir dilontarkannya melalui majalah Prisma nomor ekstra tahun XII 1984 dan langsung disambut kalangan sastrawan dengan perbincangan yang cukup hangat.
Sastra zikir adalah sebuah konsepsi sastra yang menyatakan bahwa karya sastra haruslah mengingatkan, yakni mengingatkan pembacanya kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Konsepsi ini menjadi landasan estetika yang utama bagi sastra zikir ini, bahkan sifatnya mutlak. Sementara persoalan-persoalan lain yang bersifat kulit seperti bahasa, pemilihan kata, gaya, dan seterusnya, merupakan standar estetika yang kedua.
Jika kita memperhatikan sajak-sajak Taufik Ismail, khususnya yang ditulis pada era 1980-an ke depan, secara logis kiranya kita dapat mempertanggung-jawabkan apa yang telah dinyatakan Taufik Ismail dengan konsep sastra zikirnya itu. Sajak-sajaknya, baik yang diterbitkan dalam antologi puisi maupun yang kemudian dimusikalisasikan oleh Bimbo, tampak jelas acuannya ke konsep itu. Yakni, menawarkan dimensi transenden, yang mengacu kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan orang pada keagungan Ilahi.
Istilah Sastra Islam kembali muncul menjadi bahan perdebatan di kalangan sastrawan muslim Indonesia ketika Abdul Hadi WM. Sekitar tahun 1995-an menulis artikel di harian Republika yang berjudul “Nafas Islam dalam Sastra Kontemporer” (Tohari, 1998:v). Dalam tulisan tersebut ia menekankan perlunya menghidupkan kembali Sastra Islam, yakni sastra yang berorientasi tauhid atau memiliki tujuan transendental. Yang ia maksudkan adalah terbukanya kembali ruang gerak yang selebar-lebarnya bagi pertumbuhan sastra sufistik Karena esensi penciptaan sastra adalah pencarian dan realisasi diri, maka setiap pengarang bebas memilih wawasan estetik dan kreatifnya serta pengucapannya sendiri. Sehingga kecenderungan sastra bernafas Islam harus ditanggapi secara wajar sebagai bagian dari upaya kebebasan kreatif maupun pencarian dan pengucapan diri.
Kemudian pada selang waktu berikutnya Simuh menulis pada media yang sama sebagai tanggapan atas tulisan Abdul Hadi WM. yang berjudul “Sastra Islam dan Masa Depan Umat”. Dalam tulisan tersebut Simuh mengkritik apa yang dilontarkan Abdul Hadi WM. mengenai pengertian sastra Islam. Menurut Simuh sastra Islam yang berkecenderungan sufistik itu berwatak ekspresif irrasional. Ia mengutamakan rasa pengalaman keagamaan semata. Maka, langsung atau tidak langsung memudarkan daya kritik keilmuan dalam Islam. Sebagai solusinya Simuh memperkenalkan apa yang disebut Sastra Islam Progresif, yakni sastra yang mencerahkan dan membawa semangat ijtihad.
Belakangan Abdul Hadi WM. menulis tanggapan balik atas tulisan Simuh dengan judul “Menjawab Persoalan Sastra Islam”. Menurutnya cakrawala sastra Islam sudah tentu sama luasnya dengan ajaran Islam itu sendiri. Karena itu, dalam memandang seni dan sastra Islam kita mesti bertolak dari dalam seni dan sastra Islam itu sendiri bukan dari arah luar sastra Islam. Dimensi tauhid sastra Islam yang ia maksudkan tidak melulu hanya ber-asyik-masyuk dengan Tuhan, tapi juga mencakup tanggung jawab sosial. Karena telah diakui bahwa tradisi sastra Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tradisi intelektual dan spiritualitasnya.
Namun jauh hari sebelum polemik antara Abdul Hadi WM. dengan Simuh berlangsung, Faruk menggugat pengistilahan sastra Islam itu sendiri. Ia menilai bahwa hubungan antara Islam dengan sastra sesungguhnya sangat problematik. Di samping ajaran Islam (secara tekstual) cenderung kurang simpatik terhadap apa yang disebut seni sastra, juga istilah sastra Islam itu sarat akan bias-bias orientalisme. Hal ini dikemukakan karena dalam kasus sastra Nusantara, wacana mengenai sastra Islam sejak lama diproduksi dan didistribusikan oleh para orientalis. Di samping menempatkan sastra sebagai fenomena estetik yang universal, para orientalis itu juga menempatkan sastra dibagi menjadi sastra berbagai wilayah seperti sastra Melayu, Jawa, Sunda, Bugis dan sebagainya dan sastra dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam dan sejenisnya.
Dari paparan fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa seni dan sastra tidak dapat kita pisahkan dari kehidupan umat Islam. Berbagai macam kontroversi dan dialektika sastra dan seni menunjukkan bahwa konsep sastra dalam perspektif al-Qur’an Islam belum terbangun kokoh sehingga membutuhkan kajian-kajian dan penelitian lebih lanjut yang lebih intens dan serius.
Kontroversi tentang hubungan Islam dan seni sastra ini menunjukkan betapa lemahnya bangunan keilmuan sastra dalam perspektif Islam. Untuk itu perlu dikaji dan dibangun secara lebih mendalam paradigma keilmuan sastra, macam-macam sumbernya, sarananya dan tata cara perolehannya.
Diambil dari beberapa sumber, diantaranya:
- Abdurrahman, “Bintu al-Syati’” Dr. Aisyah. 1992. Qiyamun Jadidah lil-Adab al-Araby. Kairo: Dar al-Maarif.
- Dhoif, Dr. Syauqi. 2001. Tarikh al-Adab al-Araby: al-Ashru al-Jahily. Kairo: Dar al-Maarif.
- Ebo, Among Kurnia. 2003. Sastra di Titik Nadir: Bunga Rampai Teori Sastra Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
- Faruk, H.T. 2001. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media.
- Hadi W.M., Abdul. 1985. Sastra Sufi Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
- Hasan Shadily dkk. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve.
- Jabrohim (Ed). 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
- Kailani, Najib. 1985. Rihlati Ma’a al-Adab al-Islamy. Beirut: Muassasah al-Risalah.
- Khalafullah, Muhammad A. 2002. Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah: Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah-kisah al-Qur’an, terj. Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin. Jakarta: Paramadina.
- Qutub, Muhammad. 1987. Manhaj al-Fan al-Islamy. Kairo: Dar al-Syuruq.
- Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner. Yogjakarta: Qalam dan Sanding.
- Teeuw. A. 1983. Pembaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
- Tohari, Ahmad. 1998. Sastra dan Budaya Islam Nusantara (Dialektika Antarsistem Nilai). Yogyakarta: SMF Adab IAIN Sunan Kalijaga.
0 komentar:
Posting Komentar