Komunitas Penulis - Kali ini sedikit kita akan membahas mengenai Tatanan Sastra di Indonesia yang mempunyai sejarahnya sendiri. Karena memang tidak dapat diuraikan seluruhnya di sini maka kiat menyebutnya sekilas Mengenai Tatanan Sastra di Indonesia. Pembentukan Balai Pustaka yang memakai bahasa Melayu Tinggi oleh Hindia Belanda, dan pemisahan sastra populer yang merakyat sebagai ”bacaan liar” adalah salah satu proses pembentukan landasan tersebut.
Dalam proses kemerdekaan, intelektual didikan Belanda yang mempunyai modal melek budaya (dengan penguasaan beberapa bahasa Eropa dan Inggris, Indonesia dan daerah), mewarnai aktifisme politik kebangsaan dengan wawasan sastra yang kuat. Kita dapat menyebutkan Sjahrir, Soekarno, Soedjatmoko, yang siap berdiskusi tentang perkembangan sastra di luar dan dalam negeri. Institusi pendidikan yang didirikan sejak zaman Belanda, meletakkan dasar pengkajian sastra klasik maupun modern, dan menghasilkan filolog maupun kritikus Indonesia, seperti H.B. Jassin.
Pengaruh guru besar Belanda A.Teeuw dalam perkembangan kritik sastra Indonesia selanjutnya tidak dapat diabaikan. Perkembangan ilmu susastra di luar negeri, seperti masuknya strukturalisme dalam kritik sastra Rawamangun, adalah salah satu gejala yang tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kontroversi tentang kritik sastra yang dianggap ”memotong-motong” sastra sebagai objek, versus sastra sebagai ”ganzheit” merupakan titik persilangan perkembangan ilmu susastra ke arah profesionalisme keilmuan yang berpisah fungsi dari kritik sastra sebagai pencerahan publik dalam tradisi New Criticism. Perbedaannya dengan yang terjadi di Eropa dan Amerika, pendidikan dasar melek budaya, yang menghasilkan orang-orang seperti Sukarno, Sjahrir dan Sudjatmoko semakin terkikis di masa-masa berikutnya.
Pada masa Orde Baru, penekanan pada ideologi dan reduksi pengajaran sastra sebagai penunjang pelajaran bahasa semakin memperkecil perkembangan masyarakat pembaca yang melek seni budaya. Pada saat yang sama, ilmu susastra dituntut untuk mengikuti perkembangan ilmu menjadi semakin terspesialisasi dalam bidang-bidang akademis profesional, sehingga ruang bagi pencicip selera sastra publik seperti H.B. Jassin tidak lagi dapat diharapkan dari perguruan tinggi. Padahal konteks negara berkembang masih membutuhkan peran pengajar/ilmuwan sebagai intelektual publik yang siap dipanggil berbicara di forum-forum publik.
Sementara itu landasan finansial untuk tatanan sastra di Indonesia belum terbangun sampai sekarang, karena tidak adanya insentif pajak bagi filantropi seni budaya. Jika di luar negeri berbagai yayasan memberikan dukungan untuk pengembangan kepustakaan untuk perluasan wawasan sastra dan budaya publik, kritikus seperti H.B. Jassin, mengeluarkan dana pribadi – dari penghasilan sebagai pegawai negeri yang tidak mencukupi untuk hidup – untuk membangun pusat dokumentasi yang kini menjadi andalan peneliti dalam dan luar negeri.
Satu tonggak dalam tatanan sastra dicapai di tahun 1970an melalui inisiatif Gubernur Jakarta Ali Sadikin, yang mendirikan Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta. Pengayoman sastra generasi muda melalui gelanggang-gelanggang sastra dan berbagai lomba, termasuk dukungan terhadap Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, sempat menghasilkan suasana yang bergairah dan dinamis dalam kehidupan sastra. Penjurian merupakan hasil terapan kritik sastra, dan pementasan merupakan sarana pembentukan masyarakat pendukung sastra.
Namun sistem pengayoman itu semakin menyusut dengan bergantinya pejabat, dan peran pemerintah belum menonjol dalam penguatan tatanan sastra yang ada. Beberapa konsekuensi muncul dari sistem sastra semacam ini. Di satu pihak pengembangan penelitian ilmiah di bidang sastra dari ilmuwan Indonesia menjadi sangat terbatas, masih belum mampu berdialog dengan pakar-pakar mancanegara yang membangun pengetahuan tentang sastra Indonesia melalui program-program studi dan pusat kajian kawasan Asia, Asia tenggara, dan Indonesia. Pada saat yang sama, fungsi kritik sastra untuk membangunapresiasi publik belum mendapatkan suplai yang memadai dari segmen masyarakat yang melek budaya. Komunitas-komunitas sastra yang berkembang dari tahun 1970an di Jakarta dan di berbagai pelosok Indonesia berusaha memenuhi kebutuhan kritik, apresiasi, diskusi publik, sayembara, festival dan penyaluran ekspresi sastra dan budaya dengan menghimpun berbagai sumberdaya. Majalah Horison melalui inisiatif penyair Taufik Ismail melakukan kegiatan apresiasi sastra di kalangan pelajar sekolah menengah.
Di tengah kesenjangan antara perkembangan ilmu sastra secara akademik dan minimnya kritik sastra untuk publik yang lebih luas, kecenderungan para pakar untuk memamerkan jargon-jargon teori yang rumit dalam koran-koran dan media massa cenderung mengasingkan pembaca umum dan sastrawan, dan membangkitkan keluhan tentang relevansi kritik akademik bagi apresiasi sastra. Kondisi semacam inilah yang melandasi munculnya keluhan-keluhan tentang ”krisis kritik sastra” dari masa ke masa.
Demikian sekilas pembahasan mengenai Tatanan Sastra di Indonesia. Jika ada kekeliruan ataupun kekurangan mohon koreksinya. Salam Nektarity
Tatanan Sastra di Indonesia
Dalam proses kemerdekaan, intelektual didikan Belanda yang mempunyai modal melek budaya (dengan penguasaan beberapa bahasa Eropa dan Inggris, Indonesia dan daerah), mewarnai aktifisme politik kebangsaan dengan wawasan sastra yang kuat. Kita dapat menyebutkan Sjahrir, Soekarno, Soedjatmoko, yang siap berdiskusi tentang perkembangan sastra di luar dan dalam negeri. Institusi pendidikan yang didirikan sejak zaman Belanda, meletakkan dasar pengkajian sastra klasik maupun modern, dan menghasilkan filolog maupun kritikus Indonesia, seperti H.B. Jassin.
Pengaruh guru besar Belanda A.Teeuw dalam perkembangan kritik sastra Indonesia selanjutnya tidak dapat diabaikan. Perkembangan ilmu susastra di luar negeri, seperti masuknya strukturalisme dalam kritik sastra Rawamangun, adalah salah satu gejala yang tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kontroversi tentang kritik sastra yang dianggap ”memotong-motong” sastra sebagai objek, versus sastra sebagai ”ganzheit” merupakan titik persilangan perkembangan ilmu susastra ke arah profesionalisme keilmuan yang berpisah fungsi dari kritik sastra sebagai pencerahan publik dalam tradisi New Criticism. Perbedaannya dengan yang terjadi di Eropa dan Amerika, pendidikan dasar melek budaya, yang menghasilkan orang-orang seperti Sukarno, Sjahrir dan Sudjatmoko semakin terkikis di masa-masa berikutnya.
Pada masa Orde Baru, penekanan pada ideologi dan reduksi pengajaran sastra sebagai penunjang pelajaran bahasa semakin memperkecil perkembangan masyarakat pembaca yang melek seni budaya. Pada saat yang sama, ilmu susastra dituntut untuk mengikuti perkembangan ilmu menjadi semakin terspesialisasi dalam bidang-bidang akademis profesional, sehingga ruang bagi pencicip selera sastra publik seperti H.B. Jassin tidak lagi dapat diharapkan dari perguruan tinggi. Padahal konteks negara berkembang masih membutuhkan peran pengajar/ilmuwan sebagai intelektual publik yang siap dipanggil berbicara di forum-forum publik.
Sementara itu landasan finansial untuk tatanan sastra di Indonesia belum terbangun sampai sekarang, karena tidak adanya insentif pajak bagi filantropi seni budaya. Jika di luar negeri berbagai yayasan memberikan dukungan untuk pengembangan kepustakaan untuk perluasan wawasan sastra dan budaya publik, kritikus seperti H.B. Jassin, mengeluarkan dana pribadi – dari penghasilan sebagai pegawai negeri yang tidak mencukupi untuk hidup – untuk membangun pusat dokumentasi yang kini menjadi andalan peneliti dalam dan luar negeri.
Satu tonggak dalam tatanan sastra dicapai di tahun 1970an melalui inisiatif Gubernur Jakarta Ali Sadikin, yang mendirikan Dewan Kesenian Jakarta dan Institut Kesenian Jakarta. Pengayoman sastra generasi muda melalui gelanggang-gelanggang sastra dan berbagai lomba, termasuk dukungan terhadap Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, sempat menghasilkan suasana yang bergairah dan dinamis dalam kehidupan sastra. Penjurian merupakan hasil terapan kritik sastra, dan pementasan merupakan sarana pembentukan masyarakat pendukung sastra.
Namun sistem pengayoman itu semakin menyusut dengan bergantinya pejabat, dan peran pemerintah belum menonjol dalam penguatan tatanan sastra yang ada. Beberapa konsekuensi muncul dari sistem sastra semacam ini. Di satu pihak pengembangan penelitian ilmiah di bidang sastra dari ilmuwan Indonesia menjadi sangat terbatas, masih belum mampu berdialog dengan pakar-pakar mancanegara yang membangun pengetahuan tentang sastra Indonesia melalui program-program studi dan pusat kajian kawasan Asia, Asia tenggara, dan Indonesia. Pada saat yang sama, fungsi kritik sastra untuk membangunapresiasi publik belum mendapatkan suplai yang memadai dari segmen masyarakat yang melek budaya. Komunitas-komunitas sastra yang berkembang dari tahun 1970an di Jakarta dan di berbagai pelosok Indonesia berusaha memenuhi kebutuhan kritik, apresiasi, diskusi publik, sayembara, festival dan penyaluran ekspresi sastra dan budaya dengan menghimpun berbagai sumberdaya. Majalah Horison melalui inisiatif penyair Taufik Ismail melakukan kegiatan apresiasi sastra di kalangan pelajar sekolah menengah.
Di tengah kesenjangan antara perkembangan ilmu sastra secara akademik dan minimnya kritik sastra untuk publik yang lebih luas, kecenderungan para pakar untuk memamerkan jargon-jargon teori yang rumit dalam koran-koran dan media massa cenderung mengasingkan pembaca umum dan sastrawan, dan membangkitkan keluhan tentang relevansi kritik akademik bagi apresiasi sastra. Kondisi semacam inilah yang melandasi munculnya keluhan-keluhan tentang ”krisis kritik sastra” dari masa ke masa.
Baca Juga Perkembangan Karya Sastra Masa Kini
Demikian sekilas pembahasan mengenai Tatanan Sastra di Indonesia. Jika ada kekeliruan ataupun kekurangan mohon koreksinya. Salam Nektarity
0 komentar:
Posting Komentar