Komunitas Penulis - Faham realisme sosialis telah sedikit mengilhami Imamessiah Solikhi yang seringkali melahirkan pemikiran yang kritis tentang realita. Aliran ini menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif. Semangat terhadap perlawanan sistem sering dapat dirasakan dalam karya-karya Imamessiah Solikhi yang diposting di grup ini. Simak saja dalam fiksimini di bawah ini:
Pembukaan kalimat yang cerdas menurut saya. Kutipan di atas memberi gambaran tentang realisme sosialis, mengenai realitas yang terjadi di sekitar kita. Sentuhan realism semakin terlihat pada paragraf selanjutnya:
*)Fiksimini ini diposting di grup RUMPUN NEKTAR tanggal 1 Desember 2012
Sebuah Fiksimini yang nyaris kita rasakan jujur dalam penuturan., bukan hanya sekedar tulisan fiksi semata. Seolah lahir berdasarkan realitas yang ada. Sebuah cerita yang sedikit menyinggung tingkah “plat merah” yang tak bisa dipungkiri ada dan nyata di tengah-tengah kita.
Penulis yang berhasil, diharapkan memberikan pengaruhnya pada kondisi dan kehidupan sosial. Itu hubungan timbal-balik. Sehingga pembaca tidak pernah bosan untuk terus mengikuti alur yang ada dalam cerita, sebab permasalahan yang diangkat dalam novel aliran realisme sosialis tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi sehari-hari. Tidak sebagaimana sinetron-sinetron di layar kaca, yang lebih sering menampilkan kekayaan dan kesempurnaan padahal masih banyak masyarakat kita yang hidup sebaliknya.
Beberapa kali, penulis ini membuat fiksimini yang sangat menusuk dan mengena amanatnya. Seperti:
*)Fiksimini ini diposting di grup RUMPUN NEKTAR tanggal 25 maret 2013
Tugas dari karya realisme sosialis adalah memberikan dorongan pada yang masih pasif, sugestif untuk lebih berani memenangkan keadilan, untuk melawan dan menentang penindasan bukan saja berdasarkan ilmu dan pengetahuan.
Tetapi, dari segi kepenulisan, penulis ini cenderung agresif. Kurang tertata dalam menyampaikan amanat. Terlihat dari Fiksimini pertama diatas, penulis ini tergesa-gesa menunjukan realitas, dan hasilnya seolah memaksakan amanatnya.
Ada baiknya perlu diberikan ornamen-ornamen untuk menjadi bumbu dalam pengantar amanat yang sebenarnya sangat bermanfaat, supaya tidak terkesan menggurui.
Dalam beberapa karyanya, penulis cenderung lebih suka menceritakan tentang kesedihan dan kekalahan. Untuk selanjutnya cobalah untuk mengangkat tema realism sosial dari sudut pandang kegembiraan.
Biodata penulis ini:
Lewat pernikahan Tukimin dan Sumiati, di Bumi Reog saya dilahirkan pada 13 Maret 1993 dengan nama Imam Solikhi. Debut menulis saya berawal di SMA N 1 Ponorogo. Dan selanjutnya di Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia UNS ini, saya mulai menemukan ritme tulisan saya. Bagi yang berminat, saya ada di imamessiah19@gmail.com atau di @imamessiah.
Demikian KRITIK KARYA NEKTARITY ke-tiga. nantikan KRTIK KARYA lainnya di edisi mendatang
Bergabunglah bersama kami di grup Facebook https://www.facebook.com/groups/nektarity
TANAH BOTOL BEKAS
Semoga bangsa ini masih berlimpah orang-orang pemalas.
Semoga tanah ini masih berlimpah botol-botol aqua bekas.
Langit merona kemerahan dan burung-burung berterbangan menjelajah angkasa menuju sarang mereka. Mungkin itu yang disebut senja. Aku yang tamat sekolah secara prematur, atau yang lebih kejam disebut pendidikanku mogok di kelas ke 5, memang terlampau sulit untuk sekadar menjelaskan sesuatu yang disebut senja. Yang kutahu hanyalah sekilo aqua bekas adalah seharga dengan 3500 rupiah. Atau seharga makananku dengan uang kembalian 1000 rupiah. Tapi entah mengapa dan bagaimana caranya, yang kutahu aku menyukai senja. Seperti aku menyukai saat orang-orang membuang botol bekas semaunya.
Pembukaan kalimat yang cerdas menurut saya. Kutipan di atas memberi gambaran tentang realisme sosialis, mengenai realitas yang terjadi di sekitar kita. Sentuhan realism semakin terlihat pada paragraf selanjutnya:
“Jangan pernah berpikir tentang apa yang diberikan negara padamu! Tapi berpikirlah tentang apa yang bisa kamu berikan pada negara!” seruku dengan lantang ketika menjawab sebuah pertanyaan dari seorang mahasiswa. Tak lama kemudian, gema tepuk tangan berdesakkan di sekujur ruangan. Aku kembali duduk di sofa yang sangat empuk. Tepuk tangan mulai mereda, aku bersiap menjawab pertanyaan kelima.
“Silahkan, kami buka pertanyaan untuk yang terakhir,” kata Evita, mahasiswa terbaik di fakultas ini, dengan tegas dan penuh semangat. Kali ini ia didaulat sebagai moderator. Dia mahasiswi Pendidikan Senirupa paling tersohor. Cerdas, menarik dan berprestasi. Lukisannya tidak kalah dengan anak-anak ISI. Dua kali kami bertemu. Saat itu dia juga menjadi moderator dalam seminarku. Tak lama, banyak jari telunjuk mengudara. Evita kembali bingung memilih untuk kesekian kalinya.
“Assalamuallaik¬um, nama saya Muhammad Abid. Saya mahasiswa Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia, semester 3. Ada dua hal yang ingin saya tanyakan. Pertama, bagaimana cara terbaik bagi mahasiswa untuk berkontribusi dalam kemajuan bangsa? Yang ke dua, bagaimana pendapat bapak mengenai aksi demo yang dilakukan para mahasiswa dalam menentang kebijakkan pemerintah yang dianggap justru semakin tidak berpihak pada rakyat? Terimakasih.” Kata seorang mahasiswa yang akhirnya dipilih Evita dari belasan pemilik telunjuk-telunjuk jari yang juga mengharapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sedang beranak-pinak dalam kepalanya. Wajahnya tak begitu jelas. Duduknya jauh di deretan kedua dari belakang. Tubuhnya tertimbun peserta-peserta di depannya dari pandanganku. Tak banyak dari tubuhnya yang mampu diterima lensa mataku. Yang terlihat dari sini, hanya almamater hijaunya yang nampak asri.
“Baik, terimakasih saudara Abid. Silahkan pak Firman menjawabnya..” Evita berkata lembut, masih dengan senyum terbaiknya.
“Pak? Saya masih 27 tahun loo. Kalau tidak percaya silahkan bertanya pada rumput yang bergoyang. Panggil saja saya Mas. Biar kelihatan keren. Kalau Pak, kesannya saya hanya tinggal menempuh satu step lagi, yaitu Mbah, sebelum akhirnya saya Offline. Kan kalau Mas saya masih punya dua step!” kataku disambut tawa membahana dari sekitar 350 peserta yang hadir. Tawa yang keluar dari mulut-mulut calon pemikir.
“Baiklah, saya tanya, apa hakikat dari seorang mahasiswa? Hakikat seorang mahasiswa ada empat! Satu, belajar! Dua, Menganalisa! Tiga, memilih! Empat, mengaplikasikan¬! Mahasiswa. Kata “maha” di depan kata “siswa” tentunya memiliki arti yang dalam. Bukan sekadar hiasan tambahan seperti dalam nama Facebook kalian. Maha itu berarti sangat atau tinggi. Sedangkan siswa adalah seorang pelajar. Jadi mahasiswa adalah seorang pelajar yang berpendidikan tinggi, baik secara IQ, EQ, SQ, kemampuan maupun pengalaman! Kalian lah manusia-manusia¬ bergelar mahasiswa yang diharapkan bangsa untuk merubah negara ini menjadi lebih baik. Kalian lah yang kelak menggantikan orang-orang tua yang sudah out of date di kursi-kursi negara. Belajarlah banyak hal! Koleksi beragam pengalaman! Setelah itu, analisa seluruh pelajaran dan pengalaman yang kalian dapatkan! Lantas, pilih dari satu atau buatlah inovasi baru dari analisa yang kalian dapatkan dari pelajaran dan pengalaman kalian! Kemudian, aplikasikan teori-teori itu dalam kehidupan nyata! Jangan pernah berhenti belajar! Kalian harus lebih dinamis daripada zaman! Belajar, analisa, pilih lalu aplikasikan!” jawabku penuh semangat, diiringi tepuk tangan yang bersautan dari seluruh penjuru ruangan aula FKIP.
“Yang pertanyaan kedua tadi apa? Tentang demo ya? Perkara demo, saya membagi mahasiswa pendemo dalam tiga tipe. Pertama, pendemo bayaran. Kedua, pendemo KW. Ketiga, pendemo sejati. Ini fakta lapangan. Kalian jangan tertawa. Yang tertawa itu kelihatannya pendemo tipe pertama. Pendemo bayaran itu pendemo terselubung. Pendemo yang berkoar-koar demi uang makan dua hari. Lumayan itu untuk anak kos. Lhoh, ini fakta lapangan. Saya pun juga pernah jadi pemerannya. Biasanya demo ini dibayar oleh lembaga-lembaga¬ atau oknum-oknum tertentu demi kepentingan politik atau apapun. Sedangakn tipe pendemo KW adalah pendemo yang hanya ikut-ikutan ngeksis, hanya coba-coba daripada tidak ada kerjaan di kos. Dia tidak tahu apa yang ia demokan. Yang dia harapkan hanya barangkali bisa masuk koran. Nah, kalau tipe ketiga, pendemo sejati, patut kita beri apresiasi. Dialah yang berteriak benar pada yang benar, berteriak salah pada yang salah. Peluh mereka keluar dari keluh masyarakat. Teriakan mereka adalah jeritan masyarakat. Mereka lah manusia-manusia¬ yang bisa diharapkan untuk merubah bangsa ini! Tapi, perlu saya garis bawahi, menyampaikan apresiasi tidak harus dengan berdemo. Ada banyak cara lain yang lebih efektif dan intelek. Salah satunya, menulis di koran. Tulis kritik, saran atau harapan yang ada di benak kalian dalam koran. Seluruh masyrakat, termasuk sang pengambil kebijakan akan tahu tentang apa yang kalian ingin samapaikan. Kalian mahasiswa, gunakan cara-cara yang menunjukkan kalian memang pantas disebut kaum intelek!” tepuk tangan untuk kesekian kalinya menggema. Beberapa mahasiswa tersenyum sambil manggut-manggut¬ terkesima.
“Satu lagi pesan saya, MAHASISWA ITU BERKARYA! BUKAN BERGAYA!”
***
“Thiiiiiiiiiiii¬iiinnnnnn!!” Suara klakson mobil berplat merah mengagetkanku. Seketika membuyarkan segala lamunanku. Di senja yang teramat indah itu, aku tersenyum mengingat lamunanku. Sebagai seorang kaum intelek yang mampu memberikan pengarahan pada pemuda-pemudi penerus estafet bangsa yang penuh gairah. Begitu indah. Meskipun aku tidak bisa meneruskan sekolah, aku berharap bangsa ini bisa berubah. Aku yang seorang pemulung ini hanya bisa menitipkan harapan, pada mereka yang memiliki kesempatan berpendidikan. Semoga mereka tidak mengecewakan. Semoga mereka bisa diandalkan.
Terlihat dari kejauhan mobil berplat merah tadi membuang botol bekas di jalan. Alhamdulillah, aku akan bisa makan. Terimakasih Tuhan, kau masih mengirimkan orang-orang pemalas seperti mereka. Setidaknya orang-orang pemalas dalam mobil berplat merah itu masih ada gunanya bagi pemulung macam saya
Surakarta, 27 November 2012, 0:22:15
*)Fiksimini ini diposting di grup RUMPUN NEKTAR tanggal 1 Desember 2012
Sebuah Fiksimini yang nyaris kita rasakan jujur dalam penuturan., bukan hanya sekedar tulisan fiksi semata. Seolah lahir berdasarkan realitas yang ada. Sebuah cerita yang sedikit menyinggung tingkah “plat merah” yang tak bisa dipungkiri ada dan nyata di tengah-tengah kita.
Penulis yang berhasil, diharapkan memberikan pengaruhnya pada kondisi dan kehidupan sosial. Itu hubungan timbal-balik. Sehingga pembaca tidak pernah bosan untuk terus mengikuti alur yang ada dalam cerita, sebab permasalahan yang diangkat dalam novel aliran realisme sosialis tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi sehari-hari. Tidak sebagaimana sinetron-sinetron di layar kaca, yang lebih sering menampilkan kekayaan dan kesempurnaan padahal masih banyak masyarakat kita yang hidup sebaliknya.
Beberapa kali, penulis ini membuat fiksimini yang sangat menusuk dan mengena amanatnya. Seperti:
Dimana pun ia berada, ada sebilah pisau di tangan kanannya. Ada darah kering di ujung pisaunya. Kalau tidak salah, itu adalah darah Karta dan Tukija. Nafasnya mendengus. Masih ada 4 nyawa bajingan lagi yang harus menebus. Di antrian terakhir, ada nama Kadir. Ialah orang yang pertama kali menyekapnya tak berdaya di tumpukan jerami. Ia adalah bapaknya sendiri.
*)Fiksimini ini diposting di grup RUMPUN NEKTAR tanggal 25 maret 2013
Tugas dari karya realisme sosialis adalah memberikan dorongan pada yang masih pasif, sugestif untuk lebih berani memenangkan keadilan, untuk melawan dan menentang penindasan bukan saja berdasarkan ilmu dan pengetahuan.
Tetapi, dari segi kepenulisan, penulis ini cenderung agresif. Kurang tertata dalam menyampaikan amanat. Terlihat dari Fiksimini pertama diatas, penulis ini tergesa-gesa menunjukan realitas, dan hasilnya seolah memaksakan amanatnya.
Ada baiknya perlu diberikan ornamen-ornamen untuk menjadi bumbu dalam pengantar amanat yang sebenarnya sangat bermanfaat, supaya tidak terkesan menggurui.
Dalam beberapa karyanya, penulis cenderung lebih suka menceritakan tentang kesedihan dan kekalahan. Untuk selanjutnya cobalah untuk mengangkat tema realism sosial dari sudut pandang kegembiraan.
Biodata penulis ini:
Lewat pernikahan Tukimin dan Sumiati, di Bumi Reog saya dilahirkan pada 13 Maret 1993 dengan nama Imam Solikhi. Debut menulis saya berawal di SMA N 1 Ponorogo. Dan selanjutnya di Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia UNS ini, saya mulai menemukan ritme tulisan saya. Bagi yang berminat, saya ada di imamessiah19@gmail.com atau di @imamessiah.
Baca Juga Romantisme Gelisah dari Zilian
Demikian KRITIK KARYA NEKTARITY ke-tiga. nantikan KRTIK KARYA lainnya di edisi mendatang
Bergabunglah bersama kami di grup Facebook https://www.facebook.com/groups/nektarity
0 komentar:
Posting Komentar