Salam Nektarity. Pada Postingan kali ini ada sebuah karya Cerpen dari salah satu Pengurus Komunitas Penulis Fiksi Sastra untuk mencoba sajikan Cerpen tentang Kerinduan. Semoga bisa menginspirasi.
Setiap kali aku melihat hujan, setiap kali itu juga aku biarkan jiwaku melayang seperti uap. Lantas mengendap pada kaca jendela. Agar kau bisa dengan bebas menuliskan apapun dengan telunjukmu di kaca itu, pada diriku. Sengaja kupilih cara ini agar kau selalu bersamaku. Dan aku tak peduli lagi apapun yang dikatakan orang terhadapku tentangmu. Keberadaanmu di sampingku lebih penting dari apapun dan siapapun.
“Dan, ketika hujan Berhenti, dia pun tak mencintaiku lagi” Lirih ibu mengakhiri cerita.
Aku menghembuskan nafas setelah tadi sempat tertahan oleh cerita Ibu. Benar-benar terhanyut oleh ceritanya. Meskipun ada sedikit ketakutan dalam hati karena ceritanya memiliki awal yang sama dengan apa yang sedang aku alami sekarang ini.
“Tapi bukankah setiap orang mempunyai jalan hidup masing-masing,” gumamku dalam hati.
“Itu memang benar. Tapi bukankah tidak mustahil jika kita mengalami apa yang orang lain alami jika kita melakukan hal yang sama dengan orang itu!” katanya.
Aku tertegun dengan kata-katanya. Ibu seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku.
Angin berhembus kencang. Gerimis turun memciumi bumi yang masih sembab setelah seharian diguyur hujan. Hanya sebentar matahari menampakan diri hari ini, senja tadi. Ketika aku baca surat darimu yang kautitipkan kepada hujan pagi tadi.
”Tunggu Aku di taman tempat pertama kali kita bertemu. Hari sabtu ketika senja mulai menampakan wajahnya, angin berhembus pelan, dan sepasang kupu-kupu hinggap pada bunga teratai yang tumbuh di tengah kolam. Aku akan datang, dan bukan untuk berpisah. Aku datang tidak untuk pergi lagi. Aku datang untuk menepati janji, selamanya kaumiliki,” katamu.
Tentu tak ada yang lebih membahagiakan bagi sepasang kekasih selain pertemuan setelah lama terpisahkan. Kucium berkali-kali surat darimu. Dan, kau pasti tersenyum malu di sana. Aku yakin. Seperti saat pertama aku mengecup keningmu ketika senja menampakan wajahnya. Angin berhembus pelan. Dan, sepasang kupu-kupu hinggap pada bunga teratai di tengah kolam ketika itu. Saat aku melepasmu pergi untuk belajar di luar negeri.
Hujan masih deras ketika kulipat kembali surat darimu. Ia telah basah, tulisannya mulai luntur tersiram hujan. Namun hujan tak mampu menahan niatku untuk menemuimu. Rindu ini terlalu angkuh. Cinta ini terlalu dalam. Namun air mata ini terlampau deras untuk ku urai dalam kata-kata.
Seperti kemarin dan kemarinnya jua. Setiap hari, aku tak pernah berhenti menunggumu disini. Di tempat yang kausebut taman suci. Sesuci cinta kita, itu katamu. Aku selalu menganggap kau’kan datang dengan senyuman termanismu. Meskipun tak pernah kulihat kupu-kupu hinggap pada bunga teratai di tengah kolam karena gerimis selalu setia menemaniku setiap senja, setiap aku menunggumu.
“Inilah kesetiaan.” Aku berucap lirik pada angin yang mengantarkan gerimis menggantikan hujan senja ini.
“Kesetiaan seperti apa yang kaumaksud? Kau hanya menyiksa dirimu sendiri. Dia tidak akan datang untukmu. Atau mungkin disaat kau berpeluk gerimis, dia malah asik berpeluk kekasihnya yang lain.” Seorang teman berkata padaku. Lalu menarik tanganku untuk pulang.
Namun, tak pernah aku berniat berdiri sebelum malam datang. Meski angin gigil terus mencubit kulit, Meski gerimis berbaur embun di mataku karena aku yakin kau akan datang untukku. Tapi, tubuhku bukanlah robot. Semakin hari kondisiku kian melemah. Mungkin karena setiap senja aku harus menahan gigil menunggumu. Atau bisa saja ini peringatan dari hujan agar aku tak terlalu setia kepada senja. Dan kamu, entah dimana ketika aku terkapar tak berdaya di taman tersiram hujan berselimut penantian.
Hujan terdengar jelas diluar jendela ketika aku membuka mata. Ternyata aku telah berada di rumah. Kata Ibu, seseorang telah menemukanku di taman. Pingsan. Badanku terasa lemah. Cinta dan setia yang selama ini tersimpan dalam hati pun seakan sirna. Tak seperti kemarin, jua kemarinnya lagi. Sepertinya hujan telah menghanyutkan cinta dan kesetiaanku padamu. Aku kini sadar, mungkin kau takkan pernah datang lagi untukku.
“Penantian yang panjang ternyata hanyalah kata lain dari penderitaan,” gumamku. Namun cukup keras untuk didengar Ibu yang sedang duduk mengompresku dengan air hangat.
“Ada apa sebenarnya, Nak?” tanya Ibu lembut.
Aku diam. Aku pikir, percuma aku menceritakan ini kepada siapapun karena mungkin semua orang akan menyebutku bodoh. Aku hanya menjawab pertanyaan ibu dengan air mata yang meleleh tanpa terduga terdorong oleh rasa sakit di hatiku karena kedustaanmu, oleh pengkhianatanmu.
Di luar hujan berhenti. Seorang gadis berkerudung biru memasuki halaman rumah dengan langkah tergesa. Tak lama sudah berada di kamarku. Duduk di samping ibu yang tak henti tersenyum kepadaku.
”Kenapa Ibu selalu tersenyum, apa dia tak bisa merasakan penderitaanku ini?” gerutuku dalam hati. Begitupun dengan perempuan di sampingnya yang kemari aku sebut dengan panggilan sayang. Dia seolah menahan tawa setiap kali menatapku.
“Benar-benar tanpa perasaan!” serapahku dalam hati.
Aku melepas pegangan tangan wanita itu ketika berusaha menyentuh keningku. Aku tak ingin wanita yang telah membuatku tersiksa setiap senja, selama tiga hari, menyentuhku lagi. Terlalu dalam luka ini karena kebohongannya. Seketika aku merasa kuat, lantas bangkit
“Kenapa tidak memberi kabar sebelumnya jika kau takkan datang. Mungkin aku takkan sesakit ini!” seruku tak mampu lagi menahan luapan emosiku.
Namun senyumnya seolah mekar tersiram emosiku.
“Tahan emosimu, sayang. Ini baru hari Rabu,” jawabnya sambil menahan tawa.
Aku tersentak. Menatap almanak meja yang berjingkrak.
“Hoorr...”
Cerpen Tentang Hujan dan Kerinduan
Requiem Hujan
Oleh: Al Irsyad
Setiap kali aku melihat hujan, setiap kali itu juga aku biarkan jiwaku melayang seperti uap. Lantas mengendap pada kaca jendela. Agar kau bisa dengan bebas menuliskan apapun dengan telunjukmu di kaca itu, pada diriku. Sengaja kupilih cara ini agar kau selalu bersamaku. Dan aku tak peduli lagi apapun yang dikatakan orang terhadapku tentangmu. Keberadaanmu di sampingku lebih penting dari apapun dan siapapun.
“Dan, ketika hujan Berhenti, dia pun tak mencintaiku lagi” Lirih ibu mengakhiri cerita.
Aku menghembuskan nafas setelah tadi sempat tertahan oleh cerita Ibu. Benar-benar terhanyut oleh ceritanya. Meskipun ada sedikit ketakutan dalam hati karena ceritanya memiliki awal yang sama dengan apa yang sedang aku alami sekarang ini.
“Tapi bukankah setiap orang mempunyai jalan hidup masing-masing,” gumamku dalam hati.
“Itu memang benar. Tapi bukankah tidak mustahil jika kita mengalami apa yang orang lain alami jika kita melakukan hal yang sama dengan orang itu!” katanya.
Aku tertegun dengan kata-katanya. Ibu seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku.
***
Angin berhembus kencang. Gerimis turun memciumi bumi yang masih sembab setelah seharian diguyur hujan. Hanya sebentar matahari menampakan diri hari ini, senja tadi. Ketika aku baca surat darimu yang kautitipkan kepada hujan pagi tadi.
”Tunggu Aku di taman tempat pertama kali kita bertemu. Hari sabtu ketika senja mulai menampakan wajahnya, angin berhembus pelan, dan sepasang kupu-kupu hinggap pada bunga teratai yang tumbuh di tengah kolam. Aku akan datang, dan bukan untuk berpisah. Aku datang tidak untuk pergi lagi. Aku datang untuk menepati janji, selamanya kaumiliki,” katamu.
Tentu tak ada yang lebih membahagiakan bagi sepasang kekasih selain pertemuan setelah lama terpisahkan. Kucium berkali-kali surat darimu. Dan, kau pasti tersenyum malu di sana. Aku yakin. Seperti saat pertama aku mengecup keningmu ketika senja menampakan wajahnya. Angin berhembus pelan. Dan, sepasang kupu-kupu hinggap pada bunga teratai di tengah kolam ketika itu. Saat aku melepasmu pergi untuk belajar di luar negeri.
Hujan masih deras ketika kulipat kembali surat darimu. Ia telah basah, tulisannya mulai luntur tersiram hujan. Namun hujan tak mampu menahan niatku untuk menemuimu. Rindu ini terlalu angkuh. Cinta ini terlalu dalam. Namun air mata ini terlampau deras untuk ku urai dalam kata-kata.
Seperti kemarin dan kemarinnya jua. Setiap hari, aku tak pernah berhenti menunggumu disini. Di tempat yang kausebut taman suci. Sesuci cinta kita, itu katamu. Aku selalu menganggap kau’kan datang dengan senyuman termanismu. Meskipun tak pernah kulihat kupu-kupu hinggap pada bunga teratai di tengah kolam karena gerimis selalu setia menemaniku setiap senja, setiap aku menunggumu.
“Inilah kesetiaan.” Aku berucap lirik pada angin yang mengantarkan gerimis menggantikan hujan senja ini.
“Kesetiaan seperti apa yang kaumaksud? Kau hanya menyiksa dirimu sendiri. Dia tidak akan datang untukmu. Atau mungkin disaat kau berpeluk gerimis, dia malah asik berpeluk kekasihnya yang lain.” Seorang teman berkata padaku. Lalu menarik tanganku untuk pulang.
Namun, tak pernah aku berniat berdiri sebelum malam datang. Meski angin gigil terus mencubit kulit, Meski gerimis berbaur embun di mataku karena aku yakin kau akan datang untukku. Tapi, tubuhku bukanlah robot. Semakin hari kondisiku kian melemah. Mungkin karena setiap senja aku harus menahan gigil menunggumu. Atau bisa saja ini peringatan dari hujan agar aku tak terlalu setia kepada senja. Dan kamu, entah dimana ketika aku terkapar tak berdaya di taman tersiram hujan berselimut penantian.
***
Hujan terdengar jelas diluar jendela ketika aku membuka mata. Ternyata aku telah berada di rumah. Kata Ibu, seseorang telah menemukanku di taman. Pingsan. Badanku terasa lemah. Cinta dan setia yang selama ini tersimpan dalam hati pun seakan sirna. Tak seperti kemarin, jua kemarinnya lagi. Sepertinya hujan telah menghanyutkan cinta dan kesetiaanku padamu. Aku kini sadar, mungkin kau takkan pernah datang lagi untukku.
“Penantian yang panjang ternyata hanyalah kata lain dari penderitaan,” gumamku. Namun cukup keras untuk didengar Ibu yang sedang duduk mengompresku dengan air hangat.
“Ada apa sebenarnya, Nak?” tanya Ibu lembut.
Aku diam. Aku pikir, percuma aku menceritakan ini kepada siapapun karena mungkin semua orang akan menyebutku bodoh. Aku hanya menjawab pertanyaan ibu dengan air mata yang meleleh tanpa terduga terdorong oleh rasa sakit di hatiku karena kedustaanmu, oleh pengkhianatanmu.
Di luar hujan berhenti. Seorang gadis berkerudung biru memasuki halaman rumah dengan langkah tergesa. Tak lama sudah berada di kamarku. Duduk di samping ibu yang tak henti tersenyum kepadaku.
”Kenapa Ibu selalu tersenyum, apa dia tak bisa merasakan penderitaanku ini?” gerutuku dalam hati. Begitupun dengan perempuan di sampingnya yang kemari aku sebut dengan panggilan sayang. Dia seolah menahan tawa setiap kali menatapku.
“Benar-benar tanpa perasaan!” serapahku dalam hati.
Aku melepas pegangan tangan wanita itu ketika berusaha menyentuh keningku. Aku tak ingin wanita yang telah membuatku tersiksa setiap senja, selama tiga hari, menyentuhku lagi. Terlalu dalam luka ini karena kebohongannya. Seketika aku merasa kuat, lantas bangkit
“Kenapa tidak memberi kabar sebelumnya jika kau takkan datang. Mungkin aku takkan sesakit ini!” seruku tak mampu lagi menahan luapan emosiku.
Namun senyumnya seolah mekar tersiram emosiku.
“Tahan emosimu, sayang. Ini baru hari Rabu,” jawabnya sambil menahan tawa.
Aku tersentak. Menatap almanak meja yang berjingkrak.
“Hoorr...”
***
0 komentar:
Posting Komentar