Komunitas Penulis - Pada awalnya, cerita pendek hanya mengenal gaya realis dan romantis. Kemudian berkembang cerpen-cerpen simbolik dan surealis. Cerpen realis adalah cerita pendek yang mengangkat kenyataan sosial yang getir, nyaris secara apa adanya, dengan akhir yang umumnya menyedihkan (sad ending), bahkan tragis (tragic ending). Cerpen romantis adalah cerita pendek yang menggambarkan realitas serba ideal yang dicita-citakan, serba indah, serba cantik, penuh perasaan, mendekati dongeng, dan umumnya berakhir dengan happy ending. Karena itulah, cerpen romantis sering disebut sebagai ‘dongeng kontemporer’, atau metamorfosis dongeng.
Berbeda dengan cerpen realis dan romantis, cerpen simbolik tidak menggambarkan ‘dunia rekaan’ secara realis atau natural, tapi melalui simbol-simbol. Misalnya, cerpen-cerpen sufistik Danarto, atau beberapa cerpen saya dalam kumpulan cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, Jakarta, 2004), misalnya “Luapan Cinta untuk Kampret”. “Wangsit Pak Lurah”, dan “Penyakit Leher”. Sedangkan cerpen surealis menggambarkan realitas yang jungkir balik dan melawan logika. Misalnya, cerpen Putu Wijaya yang menggambarkan tokoh cerita yang kepalanya tertinggal di Singapura tapi tidak mati, atau cerpen Seno Gumira yang menggambarkan seseorang yang memotong cakrawala senja untuk hadiah ulang tahun kekasihnya dan potongan itu menyala di saku bajunya.
Secara konvensional, tipologi cerpen diikat oleh prinsip-prinsip estetik, sejak teknik bertutur (deskripsi, narasi dan dialog), alur dan plot, penokohan dan karakterisasi, konflik dan klimaks, serta penyelesaian atau ending. Prinsip-prinsip estetik itu menjadi kekuatan utama cerpen realistik dan romantik. Cerpen realistik atau romantik yang tidak mematuhi prinsip-prinsip estetik itu akan menjadi cair atau datar. Sedangkan cerpen simbolik memiliki kekuatan yang agak berbeda, yakni pada ketepatan dan orisinalitas simbolisasinya. Begitu juga cerpen surealis, seperti karya-karya Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma, lebih mengandalkan kekuatan pada orisinalitas imajinasi surealistiknya. Meskipun tetap dibutuhkan kepandaian untuk merangkai cerita, tetapi alur, plot, konflik, klimaks, dan ending, menjadi tidak terlalu penting.
Di antara keempat gaya di atas, banyak juga cerpen yang bernada satir, yakni cerpen yang ditulis untuk menimbulkan cemooh, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kebodohan manusia beserta pranatanya, dengan tujuan untuk mengoreksi penyelewengan dengan cara mengejek dan menertawai obyek cerita guna menimbulkan sikap kritis dan kemarahan terhadap penyelewengan tersebut. Beberapa cerpen sosial-keagamaan Danarto dapat dimasukkan ke dalam gaya ini. Selain bergaya realis, cerpen satir juga sering bergaya simbolik. Sebagai contoh adalah cerpen saya berjudul “Leher Pak Barjo” dan “Dasi Kampret”.
Seiring berkembangnya karya sastra, banyak lahir karya dengan paduan gaya. Memadukan dua atau lebih unsur gaya dalam satu cerpen.
Poin terpenting adalah, kegiatan yang paling menentukan keberhasilan seorang cerpenis pada akhirnya adalah menulis dan menulis itu sendiri. Boleh saja seseorang mengumpulkan ratusan ide cerita, tapi kalau tidak pernah dituliskan tidak akan pernah satupun menjadi cerpen. Boleh saja seseorang membaca puluhan buku tentang menulis cerpen, tapi kalau tidak pernah berani menulis cerpen ia tidak akan pernah bisa menulis cerpen. Ibarat berenang, satu-satunya jalan untuk dapat berenang adalah mencebur ke air dan berenang.
Jadi, mulailah menulis sekarang juga :)
Berbeda dengan cerpen realis dan romantis, cerpen simbolik tidak menggambarkan ‘dunia rekaan’ secara realis atau natural, tapi melalui simbol-simbol. Misalnya, cerpen-cerpen sufistik Danarto, atau beberapa cerpen saya dalam kumpulan cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, Jakarta, 2004), misalnya “Luapan Cinta untuk Kampret”. “Wangsit Pak Lurah”, dan “Penyakit Leher”. Sedangkan cerpen surealis menggambarkan realitas yang jungkir balik dan melawan logika. Misalnya, cerpen Putu Wijaya yang menggambarkan tokoh cerita yang kepalanya tertinggal di Singapura tapi tidak mati, atau cerpen Seno Gumira yang menggambarkan seseorang yang memotong cakrawala senja untuk hadiah ulang tahun kekasihnya dan potongan itu menyala di saku bajunya.
Secara konvensional, tipologi cerpen diikat oleh prinsip-prinsip estetik, sejak teknik bertutur (deskripsi, narasi dan dialog), alur dan plot, penokohan dan karakterisasi, konflik dan klimaks, serta penyelesaian atau ending. Prinsip-prinsip estetik itu menjadi kekuatan utama cerpen realistik dan romantik. Cerpen realistik atau romantik yang tidak mematuhi prinsip-prinsip estetik itu akan menjadi cair atau datar. Sedangkan cerpen simbolik memiliki kekuatan yang agak berbeda, yakni pada ketepatan dan orisinalitas simbolisasinya. Begitu juga cerpen surealis, seperti karya-karya Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma, lebih mengandalkan kekuatan pada orisinalitas imajinasi surealistiknya. Meskipun tetap dibutuhkan kepandaian untuk merangkai cerita, tetapi alur, plot, konflik, klimaks, dan ending, menjadi tidak terlalu penting.
Di antara keempat gaya di atas, banyak juga cerpen yang bernada satir, yakni cerpen yang ditulis untuk menimbulkan cemooh, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kebodohan manusia beserta pranatanya, dengan tujuan untuk mengoreksi penyelewengan dengan cara mengejek dan menertawai obyek cerita guna menimbulkan sikap kritis dan kemarahan terhadap penyelewengan tersebut. Beberapa cerpen sosial-keagamaan Danarto dapat dimasukkan ke dalam gaya ini. Selain bergaya realis, cerpen satir juga sering bergaya simbolik. Sebagai contoh adalah cerpen saya berjudul “Leher Pak Barjo” dan “Dasi Kampret”.
Seiring berkembangnya karya sastra, banyak lahir karya dengan paduan gaya. Memadukan dua atau lebih unsur gaya dalam satu cerpen.
Poin terpenting adalah, kegiatan yang paling menentukan keberhasilan seorang cerpenis pada akhirnya adalah menulis dan menulis itu sendiri. Boleh saja seseorang mengumpulkan ratusan ide cerita, tapi kalau tidak pernah dituliskan tidak akan pernah satupun menjadi cerpen. Boleh saja seseorang membaca puluhan buku tentang menulis cerpen, tapi kalau tidak pernah berani menulis cerpen ia tidak akan pernah bisa menulis cerpen. Ibarat berenang, satu-satunya jalan untuk dapat berenang adalah mencebur ke air dan berenang.
Lihat juga Tips Menulis yang Baik
Jadi, mulailah menulis sekarang juga :)
0 komentar:
Posting Komentar