Ingat tagline sebuah minuman bersoda yang berbunyi, di mana saja dan kapan saja? Tagline tersebut sejatinya lebih cocok untuk menggambarkan keberadaan ide. Di mana saja dan kapan saja. Ya itulah keberadaan ide. Ada sebagian orang yang mendapatkan ide ketika sedang mengamati gemerciknya air di pancuran, ada yang mendapatkan ide saat berjalan-jalan di taman, ada yang mendapatkannya ketika sedang berkendara. Bahkan sebagian orang mengaku mendapatkan ide ketika sedang (maaf) buang hajat di toilet.
Archimedes menemukan hukum (Archimedes) yang di kemudian hari memberikan kontribusi besar bagi kemajuan peradaban manusia ketika sedang kungkum (berendam) di bak mandi. Gaya ke atas yang melawan tubuhnya yang ambles ke air, digunakan sebagai dasar pembangun teorinya. Konon, lantaran suka citanya Archimedes melompat dari bak mandi, berlari sambil berteriak Eureka! Eureka! Eureka! (Saya telah menemukannya!).
Semua pengakuan yang terekam maupun yang belum terekam tersebut benar adanya, karena ide memang berada di mana saja dan kapan saja. Lalu seberapa banyak ide yang dipikirkan orang dalam seharinya? Menurut Marci Shimoff, salah satu tokoh yang dikutip dalam karya luar biasa Rhonda Byrne The Secret, dalam sehari manusia memproduksi 60.000 pikiran. Sekali lagi 60.000 pikiran setiap harinya. Kalau kita mengasumsikan pikiran manusia difokuskan untuk menghasilkan ide-ide cemerlang. Sayangnya, kita belum mengetahui potensi luar biasa tersebut. Kita perlu mengetahui bagaimana langkah-langkah mengubah ide-ide melimpah menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Cara Menggali Ide
Kesadaran Berfikir, Memahami Fikiran dan Pemikiran
Memahami ide dengan definisi dan kesimpulan sebagaimana keterangan di atas, mungkin terlalu sederhana. Penulis sendiri – secara jujur – menemui kesulitan dalam mendeskripsikan secara “ilmiah”, minimal mendekati obyektivitas pemahaman melalui langkah yang metodologis. Barangkali karena referensi penulis yang masih sangat minim, sehingga menemukan berbagai rintangan dalam mengupas secara runut pemahaman tentang ide. Akan tetapi, dalam keterbatasan itu, penulis mencoba untuk merunut dari beberapa kasus yang barangkali bisa dijadikan bahan untuk memahami tentang ide.
Bagaimanapun, hal ini menjadi sangat menantang untuk penulis selidiki sehingga menemukan diskursus yang cukup untuk dijadikan pijakan awal mengkaji tentang ide. Coba kita perhatikan bersama cuplikan riwayat hidup R. Descartes, yang cukup kita kenal dengan “cogito, ergo sum”-nya, “saya berfikir, maka saya ada”:
“René Descartes (Latin: Renatus Cartesius) lahir di La Haye di Prancis, tahun 1596. Dia bersekolah di kolese yesuit di Anjou (La Fléche). Di universitas ia belajar hukum dan kedokteran. Oleh karena dia tidak senang akan cara hidup borjuis lingkungannya, Descartes lalu menjadi tentara di Jerman. Waktu dia berkemah di sana, dia mendapat “mimpi”-nya yang terkenal (1619): suatu penglihatan yang diberikan oleh Allah, tentang satu ilmu-induk, disusun oleh satu orang saja, menurut satu metode. Descartes sendiri merasa dipanggil untuk melaksanakan mimpi itu. Antara 1629 dan 1649 Descartes hidup di Negeri Belanda, di mana semua tulisannya diterbitkan. Tahun 1649 ia diundang ke Swedia oleh Ratu Christina. Di Stockholm ia meninggal, tahun 1650.”
Dari cuplikan di atas, ada satu fokus yang cukup menarik. Akan tetapi mungkin membutuhkan waktu dan kajian yang cukup lama untuk mendiskusikannya. Ialah, Benarkah tokoh filsafat yang sangat berpengaruh itu; yang dipandang secara umum sebagai titik pangkal filsafat modern; pengaruhnya tidak hanya dalam bidang filsafat, akan tetapi juga ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam, dan kedokteran, berangkat hanya dipengaruhi atau dimulai dengan sebuah “mimpi”? Sehingga kemudian ia mampu menelurkan pemikiran-pemikiran cemerlang. Di antaranya:
“Pertama, Subyek sebagai pusat. Yang revolusioner dalam pikiran ini, yang kelihatan begitu sederhana, ialah bahwa Descartes berpangkal pada dirinya sendiri. Manusia, subyek pemikiran, menjadi titik tolak. Dan itu sama sekali baru. Sebelum Descartes, kebenaran selalu berdasarkan kekuasaan di luar manusia: kekuasaan gereja, Kitab Suci, tradisi atau Negara. Tetapi pada Descartes manusia sendiri menjadi kekuasaan yang “membawa”, “memikul” kenyataan. Manusia yang berfikir merupakan pusat dunianya. Berkat ide ini, Descartes menjadi ayah filsafat modern.Ke dua, Ide-ide yang jelas dan tegas. Kata Descartes, saya mempunyai kepastian tentang ide ”saya berfikir, maka saya ada”, karena ide ini adalah ide “jelas dan tegas”. Dan semua hal yang saya punyai sebagai ide-ide yang jelas dan tegas (atau yang saya lihat, clare et distincte), itu pasti. Akal budi, ratio, mencapai kepastian ini taanpa pertolongan apa pun. Di sini Descartes menampakkan dirinya sebagai seorang “rasionalis”. Ke tiga, Dualisme. Salah satu ide “jelas dan tegas” dari Descartes ialah bahwa memang ada tiga substansi: Allah, pemikiran (cogitatio), dan keluasan (extentio). “Pemikiran” itu bidang psikologi, bidang jiwa. “Keluasan” itu bidang ilmu alam, bidang materi. Dalam manusia kedua bidang ini merupakan kesatuan. Namun pendapat Descartes tentang kesatuan ini agak aneh. Katanya, jiwa dan badan merupakan dua kanyataan terpisah, yang saling mempengaruhi melalui kelenjar kecil di bawah otak.”
Descartes menemukan kesadaran yang berpangkal pada dirinya sendiri, sebagai seorang manusia. Manusia, sebagaimana dikatakan, adalah subyek pemikiran sekaligus menjadi titik tolaknya. Untuk membuktikan dirinya sebagai bagian dari substansi keluasan (extentio), seorang manusia pun harus menjalankan fungsi substantif lainnya, yaitu pemikiran (cogitation). Karena kedua bidang tersebut menjadi satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan terkait satu sama lain, jika kita sepakati bahwa pemikiran itu masuk pada bidang psikologi, bidang jiwa, dan keluasan adalah bidang ilmu alam, bidang materi. Yang perlu dicatat adalah, bahwa Descartes tetap mengakui adanya substansi yang pertama, yaitu Allah.
Nampaknya pemikiran para tokoh filsafat jaman barok berputar pada wilayah-wilayah perdebatan dan atau perseteruannya serta perkembangan dari pendahulunya, para filosof skolastik. Dimana nasib selanjutnya, hal ini menjadi titik tolak dari perkembangan filsafat Barat jaman modern. Dalam artian, pada proses selanjutnya akan lebih banyak kita ketahui tentang kesepakatan dan ke-tidak sepakat-an yang lebih bersifat dialektis di dalamnya. Mari kita tinjau pernyataan Kant:
“Pengetahuan selalu bersifat “sintesis”. Pengetahuan inderawi merupakan sintesis hal-hal dari luar dan dari bentuk-bentuk ruang dan waktu di dalam saya. Pengetahuan dari akal merupakan sintesis dari data inderawi dan sumbangan dari kategori-kategori. Pengetahuan tentang Allah, jiwa, dan dunia merupakan sintesis dari bidang kategori-kategori dan ketiga ide dari rasio. Pertanyaan-pertanyaan tentang Allah, jiwa dan dunia adalah yang paling penting. Namun pengetahuan dalam bidang ini sangat berbeda dari pengetahuan inderawi dan pengetahuan akal budi.
Akal budi kita menghubungkan konsep-konsep, sehingga terjadi pernyataan-pernyataan, proposisi-proposisi. Rasio kita menghubungkan pernyataan-pernyataan tadi sehingga terjadi kesimpulan-kesimpulan. Rasio menciptakan suatu rangka besar, berkat ketiga idenya, tetapi kearifan rasio itu hanya bersifat “berpikir” dan tidak “mengerti”. Kesalahan metafisika tradisional (wolff) terletak dalam pendapatnya bahwa kosmologi, psikologi, dan teologi falsafi menghasilkan pengetahuan.
Kant menyatakan bahwa metafisika tidak bersifat “pengetahuan”. Dan untunglah, karena katanya, “saya harus menggali pengetahuan dari bawah, untuk menciptakan ruang bagi iman”.
Meski kita tidak sedang mendiskusikan masalah filsafat. Akan tetapi, bagi penulis hal ini sangat penting untuk diulas. Sebab keterkaitan antara ide dengan proses berfikir (filsafat) adalah sangat erat sekali, bagaikan dua sisi mata uang. Sebagaimana kita telah jumpai pembahasan-pembahasan di atas yang mengetengahkan proses fikiran, berfikir, dan ide-ide. Dalam pemahaman Kant, dalam tulisan Kritik atas rasio murni, Kant tidak hanya menggolongkan pengetahuan sebagai pengetahuan sintesis a-posteriori. Sebelumnnya dia membedakan macam pengetahuan sebagai pengetahuan analitis, dan yang paling akhir, ialah pengetahuan sintesis a-priori.
Kalau dalam Kritik atas rasio murni, mencoba menjawab pertanyaan “Apa yang dapat saya ketahui?”, maka selanjutnya pada tulisan Kritik atas rasio praktis akan menjawab pertanyaan “Apa yang harus saya buat?”.
Demikianlah – nampaklah bahwa tidak bisa tidak – bahwa manusia harus memfungsikan anugrah yang sudah dikaruniakan Tuhan pada dirinya, yaitu fikiran. Kesadaran untuk berfikir ini akan jelas dan tegas membedakan antara makhluk manusia dengan yang lainya. Karena manusia adalah “hayawaanun-naathiq”, (hewan yang berfikir). Bahwa ternyata dalam ajaran-ajaran agama, hal ini pun tidak kalah pentingnya dengan kesadaran pengabdian atau ibadah. Seringkali kita jumpai di dalam Al-Qur’an, misalnya. Kalimat-kalimat yang menekankan pada proses berfikir, contohnya: “afalaa tatafakkaruun?”, “apakah kamu semua tidak berfikir?”, dan lain sebagainya.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seseorang berfikir, sehingga akan memunculkan suatu ide/gagasan dan mencetuskannya dalam bentuk yang terkonsep dan matang? Kalau kita kembali pada penjabaran sebelumnya, maka ada satu hal yang terlebih dahulu harus kita sadari, yaitu kenyataan diri. Berangkat dari situlah kita akan tahu posisi, peran, dan fungsi kita dalam memberi makna pada pentas kehidupan kita.
Langkah Pertama, Mengali dan Mencari Kelimpahan Ide
Seperti dikatakan Marci Shimoff, dalam satu hari dalam benak manusia memproduksi 60.000 pikiran. Namun tanpa adanya usaha untuk memfokuskan ke dalam satu arah tertentu, 60.000 pikiran atau ide itu akan sekadar berseliweran dalam kepala seseorang. Dengan adanya usaha untuk mengarahkan atau menuntun pikiran ke arah tujuan tertentu ide-ide yang berseliweran akan lebih memiliki arti. Untuk mendapatkan ide-ide yang saling bertautan dan saling menguatkan (ide kumulatif) perlu melakukan penggalian, pencarian dan penyaringan.
Tidak semua orang mengalami hal yang dalam mendapatkan ide cemerlang. Pencarian, penggalian ide bukanlah sesuatu yang pasif. Proses ini bersifat aktif dan sangat dipengaruhi lingkungan, hobi, pengetahuan dan pengalaman seseorang.
Langkah Kedua, mendiskusikan Ide Kepada Orang Yang Lebih Mengerti
Lahirnya sebuah ide bisa terjadi secara tidak terduga maupun sudah dipersiapkan secara matang. Sekalipun lahir dari persiapan yang matang bukan berarti ide cemerlang ini sudah sempurna. Ide-ide yang didapatkan harus didiskusikan dengan orang-orang yang lebih mumpuni di bidangnya. Pada saat Larry Page dan Sergey Brin mempunyai ide untuk membuat search engine Google keduanya mendiskusikan ide tersebut kepada Profesor David Cherington. Bukan saja, Profesor David mendukung ide tersebut di saat orang lain meragukannya, bahkan oleh Profesor dari Stanford University ide tersebut dibawa ke venture capital Kleiner Perkins Caufield & Byers untuk mendapatkan pendanaan.
Tetapi seringkali penemu ide cemerlang kesulitan untuk menemukan orang yang tepat. Mendiskusikan ke anggota keluarga, alih-alih mendapat dukungan, dalam kebanyakan kasus mereka malah mengendorkan semangat dengan lebih menonjolkan risiko-risiko ketimbang peluang-peluang yang mungkin bisa didapatkan dari ide tersebut.
Langkah Ketiga, Melakukan Riset Terhadap Ide
Yang terbayang di kepala orang adalah metodologi-metodologi yang rumit ketika berbicara masalah riset. Idealnya memang demikian, sehingga hasil kesimpulan dari riset tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Namun tidak semua orang memiliki kemampuan maupun dana untuk melakukan riset seperti yang dimaksud di atas. Riset terhadap ide bisa disederhanakan, dengan sekadar mencari tanggapan kepada kolega atau ke orang secara acak. mengenai tanggapan mereka seandainya ide program pengabdian masyarakat tersebut dijalankan. Misalnya, Anda yang tinggal di suatu perumahan memiliki ide untuk menjalankan bisnis antar jemput anak sekolah. Anda pergi ke blok A untuk menanyakah kepada beberapa orang tua apakah mereka tertarik untuk mengikutkan anak mereka dalam program antar jemput anak sekolah seandainya Anda memiliki bisnis jasa tersebut. Demikian juga yang Anda tanyakan kepada orang tua di blok-blok lain. Jika sebagian dari mereka menjawab ya, maka ini merupakan modal besar bagi Anda untuk mewujudkan bisnis antar jemput anak sekolah di perumahan itu
Langkah Keempat, Menentukan Terget Pelimpahan Ide
Setelah melakukan riset atas ide, pemahaman yang akan dibangun semakin kelihatan bentuk dan kualitasnya. Sebagai langkah lanjutnya, adalah penentuan target pelimpahan atas ide tersebut. Sekalipun berdasarkan riset sudah tergambar bahwa gambaran kedepan tentang ide-ide cermerlang tersebut, namun harus segera ditentukan siapa targetnya. Satu hal di dunia bisnis modern ini adalah kenyataan bahwa suatu pandangan ide tidak mungkin bisa menjangkau semua target.
0 komentar:
Posting Komentar